Jumat, 18 Januari 2019

BELANDA MERUSAK SILSILAH PRABU SILIWANGI

Oleh: Tom Finaldin

Penjajahan Belanda memang sangat mengerikan di Indonesia ini.

Bukan hanya sumber daya alam yang mereka ambil, bukan hanya ekonomi yang mereka rusakkan, melainkan hampir segalanya. Mereka merusakkan pendidikan, tradisi, budaya, termasuk silsilah keluarga para bangsawan di Indonesia. Salah satu silsilah yang dirusaknya adalah silsilah Prabu Siliwangi.

Bukan hanya Belanda yang merusakkan hal itu, melainkan pula para penguasa pribumi Indonesia sendiri berperan serta dalam perusakan itu.

Saleh Danasasmita (1991) dalam makalahnya yang berjudul Silihwangi sebagai Pangkal Silsilah Kebangsaan (Tradisi Naskah Abad XVIII dan XIX) menuliskan bahwa sejak tentara Belanda, Kapitan Adolf Winkler
melakukan ekspedisi untuk mengunjungi reruntuhan Istana Prabu Siliwangi, nama Siliwangi mulai masuk dalam catatan Kumpeni Belanda.

Daerah Bogor selalu dicatatnya dengan nama Pajajaran. Bahkan, Gunung Pangrango disebutnya Gunung Pajajaran.

Demikian pula Abraham van Riebeeek dalam ekspedisinya pada 1703, 1704, dan 1709 selalu mencatat tentang de opgank van Pakowang atau rijsenden smallen toegank van Pakowang dan vreeselijke diepe gragt.

Sejak permulaan abad 18, nama Pajajaran, nama Pakuan dengan jalan masuknya yang sempit mendaki dan diapit oleh parit yang dalam lagi mengerikan, serta nama Siliwangi sudah populer dalam lingkungan pejabat inti VOC di Batavia. Van Riebeeek bahkan “tergila-gila” oleh kota bekas Pakuan sehingga mendirikan rumah peristirahatan di sana yang dinamainya
Somerhuijsje Batoe Toelis.

Mudah dipahami bila kemudian tumbuh semacam anggapan dalam kalangan kompeni bahwa keturunan Siliwangi adalah golongan bangsawan setempat.

Mereka pun melihat bahwa di Pulau Jawa terdapat lapisan atau tingkatan kebangsawanan seperti di Eropa. Oleh sebab itu, untuk penerbitan gelar,
G.J. van Imhoff yang bangsawan intelek dan penganut aliran romantisme ajaran Rousseau
pada 2 Maret 1745 mengadakan
zegelordonantie yang menetapkan tarif untuk permohonan gelar kebangsawan yang terbagi atas empat tingkat, yaitu: Pangeran seharga 150 ringgit; Adipati dan Tumenggung seharga 125 ringgit; Aria seharga 100 ringgit; Ngabehi
dan Demang seharga 75 ringgit.
Akan tetapi, pada 25 Mei 1750 pengelompokan tarif diubah lebih murah menjadi: Pangeran seharga 125 ringgit; Raden, Adipati, Aria, dan Tumenggung seharga 80 ringgit; Ngabehi, Demang, dan Rangga seharga 60 ringgit.

Dari sinilah tampaknya kekusutan dan kekalangkabutan silsilah Prabu Siliwangi. Setelah Belanda memperjualbelikan gelar kebangsawanan, lalu mengaitkannya pada silsilah Siliwangi, segalanya menjadi berantakan. Tak jelas lagi mana keturunan Prabu Siliwangi yang asli dan mana yang hasil pembelian gelar. Para penguasa pribumi pun memang membutuhkan hal itu untuk mendapatkan legitimasi sebagai keturunan Prabu Siliwangi sehingga mendapatkan hak untuk memerintah, menjadi penguasa, serta mengelola sebuah daerah. Gelar yang terkait dengan Prabu Siliwangi itu menjadi jaminan mutu agar kekuasaannya makin kukuh dan mendapat kepercayaan untuk memimpin.

Pantas saja saat ini banyak sekali yang mengaku-aku sebagai keturunan Prabu Siliwangi dengan membawa kisah-kisah yang
“ngaler-ngidul” nggak jelas ditambah bumbu memiliki harta karun pusaka yang entah ada di mana. Bisa jadi leluhur mereka itu sebenarnya bukan keturunan asli Prabu Siliwangi, melainkan karena “beli gelar” dari penjajah Belanda. Pantas saja kelakuannya aneh.

*Bilangnya keturunan Prabu Siliwangi, tetapi tidak berperilaku seperti berdarah Siliwangi.*

0 komentar:

Posting Komentar

PUPUHU

Foto saya
Saya adalah Insan tani Karawang, yang tetap menjungjung Budaya Leluhur Sunda.