TEDJA AROEM |
Mendakan catatan nu janten dulur ti cianjur cipanas, mugia nambihan wawasan ngeunaan sejarah karuhun sunda
Rijcklof
Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman, yang berambisi ingin
menghancurkan Kesultanan Surasowan Banten, namun selalu terhalang oleh
kehati hatian Maetsuycker, kini bebas merencanakan dan melaksanakan
maksudnya. Sebagai langkah awal, Kompeni Belanda menggali terusan antara
Kali Angke dengan Cisadane, guna kelancaran angkutan pasukan dan
perbekalan ke daerah perbatasan. Terusan ini dapat diselesaikan oleh
Kompeni Belanda, pada tahun 1680.
Menurut perjanjian Belanda
Pakungwati Cirebon pada tahun 1677, daerah jajahan Mataram di Priangan
diserahkan kepada Kompeni Belanda, sebagal pembayar hutang biaya perang.
Hal ini menimbulkan gejolak politik yang baru di Tatar Sunda. Sumedang
melihat kesempatan untuk bangkit, karena Rangga Gempol III, Bupati
Sumedang, mendambakan kekuasaan seluruh wilayah yang pernah dikuasai
oleh Geusan Ulun.
Selanjutnya, pada bulan September tahun
1678, ketika Kompeni Belanda sibuk menghadapi Trunojoyo di Jawa Timur,
Rangga Gempol menggempur Sukapura, Parakanmuncung dan Bandung, sehingga
para bupati dari ketiga daerah itu menyingkir ke Kesultanan Banten,
memohon perlindungan kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Rangga
Gempol adalah Bupati Priangan pertama, yang mengadakan hubungan dagang
dengan Kompeni. la mengakui kedaulatan Kompeni Belanda, sehingga
memperoleh bantuan meriam, senapan, peluru dan mesiu. Rangga Gempol juga
menyapu daerah Ciasem, menyingkirkan para kepala daerah setempat, yang
merupakan wilayah bawahan Banten.
Kekosongan kekuasaan di
Mataram itu, dimanfaatkan pula oleh Pakungwati Cirebon, dengan
mengerahkan 300 orang Talaga, di bawah pimpinan Wiratanu, untuk mengisi
kawasan bagian utara Cianjur. Akhir tahun 1678, Wiratanu mendirikan pos
baru di Cianjur dan Cimapag, untuk menguasai lalu-lintas perdagangan
yang biasa ditempuh para pedagang Sumedang. Hubungan dagang Sumedang -
Kompeni, sudah mulai dirintis mulai tahun 1656. Wiratanu yang berstatus
resmi berada di bawah Cirebon, mengadakan hubungan langsung dengan
Kompeni, melalui Kapten Hartsinck, penanggung jawab keamanan Kompeni
untuk daerah pedalaman Batavia dan Karawang. Situasi baru ini, telah
memecah konsentrasi Kesultanan Banten, dalam upaya menghadapi Kompeni
secara langsung. Sultan Ageng Tirtayasa harus memulihkan kekuasaan
Banten di kawasan Ciasem, dan membantu ketiga orang Bupati Priangan yang
meminta perlindungan, setelah mereka tersingkir oleh Rangga Gempol.
Cakrayuda, salah seorang Bupati Banten di kawasan Ciasem, adalah menantu
Bupati Bandung.
Sultan Ageng Tirtayasa memprioritaskan untuk
mengatasi Sumedang. Pasukan gerak cepat Kesultanan Banten, yang
berkedudukan di Pamanukan, di bawah pimpinan Cili Widara seorang
bangsawan Buton, segera diperintahkan untuk menyerang Sumedang.
Akhirnya, Sumedang berhasil dikalahkan dan diduduki, sehingga Rangga
Gempol harus mengungsi ke daerah Indramayu. Akan tetapi, di daerah
Indramayu, pasukan Banten yang mengejar Raga Gempol, dikalahkan oleh
bala bantuan Kompeni Belanda.
Pendudukan Banten atas Sumedang,
hanya berlangsung kurang dari dua tahun. Rangga Gempol kembali
berkuasa, tetapi ia telah kehilangan kekuasannya atas Ciasem dan daerah
Priangan Selatan. Secara politis, peristiwa itu telah menghilangkan sisa
sisa pengaruh kekuasaan Mataram di Tatar Sunda.
Sultan Ageng
Tirtayasa, mampu menghadapi tantangan tantangan yang timbul di kawasan
Priangan, sebagai akibat kekosongan kekuasaan setelah perjanjian Japara
1677. Sebab, Kompeni sendiri tidak dapat segera menguasai wilayah yang
diterima nya dari Mataram. Kabupaten Cianjur, yang langsung menjadi
sekutu Kompeni, justeru muncul dalam kesempatan tersebut. Potensinya
masih kecil, sehingga bukan merupakan ancaman berarti, bagi kelancaran
jalur hubungan pasukan dan perbekalan Banten di daerah pedalaman.
Sementara
itu, di balik keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa, ia lebih dipusingkan
oleh keadaan intern Istana Kesultanan Sorasowan Banten sendiri, karena
ulah putera mahkota yaitu Pangeran Gusti (Sultan Haji).
Sultan
Haji, mempunyai tabiat yang berbeda sekali dengan ayahnya. la labil
dalam sikap, mudah terpengaruh bujukan orang, tanpa kajian yang
mendalam. la senang meniru perilaku orang Belanda, tetapi rakyat Banten
dianjurkannya mengenakan pakaian Arab, yang menyebabkan ia dibenci oleh
ulama dan rakyat. Tetapi yang paling membahayakan negara, adalah
ambisinya terhadap kekuasaan terlalu besar. la tidak puas dengan
kedudukannya sebagai Sultan Anom.
Inilah celah yang
dunanfaatkan secara maksimal oleh perwakilan Kompeni Belmda di Surasowan
Banten. Sultan Haji bergaul akrab dengan W. Caeff, pimpinan kantor
perwailan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, serta orang orang
Belanda lainnya. Ambisi Sultan Haji yang amat besar, untuk berkuasa
penuh dalam waktu secepat mungkin, hanya akan dapat diwujudkan dengan
dukungan Kompeni Belanda.
Kompeni Belanda sudah merasa kesal,
karena kekuasaan tertinggi Kesultanan Banten, masih tetap dipegang oleh
Sultan Abdulfatah. Rijcklof Volckertsz van Goens, yang berambisi
menghancurkan Kesultanan Banten, terpaksa menahan diri. la tidak berani,
menghadapi "musuh besar Kompeni Belanda" itu, tanpa persiapan yang
benar benar matang. Keamanan kawasan di sekitar Batavia, tetap rawan,
karena gangguan gerilya Banten. la sangat memahami, dalam pertempuran di
laut, Kompeni Belanda akan mampu menghadapi Banten. Akan tetapi di
darat, pasukan Banten masih terlalu tangguh. Akhirnya, van Goens sama
sekali tidak sempat mewujudkan impiannya, karena ia meninggal pada bulan
November 1681. Dendamnya terhadap Sultan Ageng Tirtayasa, terbawa mati.
Pengganti
van Goens adalah "si Jagoan Tempur" Cornelis Speelinan, ia orang
Kompeni Tulen. Ketika diangkat menjadi Gubernur jenderal, Speelman telah
34 tahun mengabdikan dirinya kepada Kompeni. Berkat pengalamannya
sebagai pedagang, perunding dan panglima perang. Belanda kelahiran
Rotterdam itu, telah akrab dengan iklim tropic, dan mengetahui banyak
bahasa bahasa daerh dan adat istiadat masyarakat Nusantara. Dialah yang
mendiktekan Perjanjian Bongaya untuk Makasar, dan Perjanjian Japara
untuk Mataram.
Dalam sehari, Cornelis Speelman tahan bekerja
selama 16 jam. la cerdas dan cerdik, tubuhnya kekar, namun lincah dan
tak senang diam. Untuk kepentingan Kompeni, ia berani mempertaruhkan
nyawanya, bahkan ia pun tidak pernah ragu ragu mengorbankan nyawa orang
lain. Wajar bila Vlekke dalam bukunya, menyebut: "pedang yang mengubah
Kompeni dari penguasa niaga, menjadi penguasa wilayah".
Dari
"tiga serangkai Kompeni", selama 30 tahun menghadapi Sultan Ageng
Tirtayasa, Cornelis Speelman adalah orang terakhir yang masih hidup.
Watak dan keuletan Speehnan, terlihat dalam laporannya mengenai Perang
Makasar. Pada saat saat perang sedang berlangsung, ia menyusun catatan
pertempuran, lengkap dengan keadaan politik, dan tatanan masyarakat
Sulawesi Selatan. Banten, menghadapi ancaman lawan yang tangguh dan
licin.
Speelman mengetahui, bahwa perselisihan antara Sultan
Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji, semakin meruncing. Oleh karena itu,
untuk menghadapi Kesultanan Surasowan Banten, Speelman mematangkan
situasi. Sikap licin seorang pedagang ulung, Speelman berpura pura tidak
percaya dan menolak desakan Sultan Haji, yang ingin memperbaharui
perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni
Belanda. Oleh karena Sultan Haji ingin segera memegang kekuasaan penuh,
terpaksa ia harus menjanjikan konsesi konsesi yang lebih besar kepada
Kompeni Belanda.
Hasrat menggebu yang dimiliki oleh Sultan
Haji itu, terlihat dalam tindakannya pada bulan Mei 1680, yang
mengirimkan utusan ke Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Sultan Haji
menawarkan perdamaian, sambil menegaskan bahwa dialah yang berkuasa di
Kesultanan Surasowan Banten. Padahal, saat itu jabatan Sultan Haji
hanyalah sebagai Sultan Anom, yang menempati Istana Surasowan.
Selanjutnya,
Speelman mengutus Jacob van Dijck, sebagai perunding pihak Kompeni
untuk membicarakan "pembaharuan perjanjian" dengan pihak Kesultanan
Surasowan Banten. Padahal Jacob van Dijck mengetahui benar, bahwa Sultan
Ageng Tirtayasa akan menolak "pembaharuan perjanjian" itu. Akan tetapi,
sebagai perunding ulung, van Dijck tidak akan segan melaksanakan tugas
tersebut, dengan sikap "tetap manis dan penuh harap". Jacob van Dijck
adalah orang Kompeni yang telah berhasil menarik Cirebon ke dalam
perjanjian persahabatan, pada tanggal 8 Januari 1681.
Tugas
van Dijck yang sesungguhnya, ialah menghasut Sultan Haji, agar lebih
berani mengadapi ayahnya, dengan janji dukungan dari Kompeni Belanda.
Kepada Sultan Ageng Tirtayasa, Kompeni Belanda menunjukkan sikap ingin
"tetap damai", padahal di benteng "Batavia", komandan-komandan tempur
yang paling berpengalaman telah bersiap. Mereka adalah: Kapten
Hartsinck, Kapten Tack, Van Happel, Sloot, dan Saint Martin. Pertahanan
daerah Angke Tangerang, disiapkan di bawah pimpinan Anthony Hurdt,
anggota Dewan Hindia Belanda penakluk Trunojoyo.
Dengan dalih,
Kompeni datang bukan "sebagai penyerang", melainkan sebagai "penolong",
Speelman ingin menciptakan "perang saudara" di Kesultanan Surasowan
Banten. Sistem politik adu domba, oleh Jacob van Dijck dan Caeff,
ditambah dengan sikap Sultan Haji yang ambisius atas kekuasaan, berjalan
mulus. Sehingga, pada malam 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa
memerintahkan pasukannya menyerang Istana Keraton Surasowan, yang
ditempati oleh Sultan Haji. Ibukota Surasowan diserang dari segala
penjuru, dan perkampungan pinggiran daerah kota habis dibakar. Namun
dengan bantuan Kompeni Belanda, komplek keraton Surasowan tidak berhasil
direbut.
Selanjutnya pada tanggal 6 Maret 1682, pasukan
bantuan Kompeni Belanda, di bawah komando Saint Martin, tiba di
Pelabuhan Banten. Disusul kemudian oleh pasukan lainnya, di bawah
komando Kapten Tack. Pertahanan keraton Surasowan makin kokoh.
Sementara
itu, pada tanggal 16 Maret 1682, Kapten Hartsinck dibantu oleh Van
Happel, membawa pasukan campuran sebanyak 680 orang, dengan dukungan
tenaga logistik sebanyak 400 orang, mulai bergerak menuju perbatasan
Angke Tangerang.
Tangguhnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa di
front Angke Tangerang, memaksa Kompeni Belanda untuk tidak melakukan
serangan, sehingga terjadi stagnasi. Hingga bulan Agustus 1682, hanya
terjadi serangan kecil-kecilan dari kedua belah pihak. Pasukan gerilya
Banten, berupaya keras mengganggu garis logistik Kompeni Belanda.
Akhirnya,
anggota Dewan Hindia Belanda Anthony Hurdt, turun tangan memimpin
pasukannya di garis depan. Pada bulan Oktober 1682, Kompeni Belanda
telah selesai membangun perbentengan di sebelah timur Cisadane. Ketika
persiapan Kompeni Belanda telah rampung, pada bulan November 1682,
mereka mulai melakukan gempuran terhadap pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Tepat pada tanggal 2 Desember 1682, pusat pertahanan pasukan Banten di
Kademangan, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa
bersama pasukannya, mundur menuju Tanara.
Di Tanara, pasukan
darat dan laut Banten, mencoba mempertahankan daerah tersebut. Akan
tetapi, melalui pertempuran sengit pada tanggal 16 Desember 1682, Tanara
pun jatuh ke tangan pasukan Hartsinck. Selanjutnya, pasukan Banten
mundur menuju daerah pertahanan terakhir di Tirtayasa.
Sedangkan
di Tanara, Hartsinck mempersiapkan serangan baru. Pada tanggal 28
Desember 1682, armada darat dan laut Kompeni Belanda, bergerak menuju
Tirtayasa.
Serbuan pasukan Hartsinck ini, diikuti oleh Kapten
Saint Martin dan Tack, yang berada di Keraton Surasowan. Dari ibukota
Surasowan, mereka bersama lama dengan pasukan Sultan Haji, bergerak
menuju ke Tirtayasa. Pasukan gabungan ini, berhasil merebut Pontang.
Saat itu, meriam tempur Hartsinck, mulai menembus keraton Tirtayasa.
Semakin
mendesaknya pasukan Kompeni Belanda menuju benteng Tirtayasa, dengan
perhitungan yang matang, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk
membumihanguskan keraton Tirtayasa. Bersama dengan para pembesar dan
pengikutnya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa menyingkir menuju kawasan
hutan Keranggan, di sebelah selatan Tirtayasa. Pada awal Maret 1683,
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berada di Sajira, daerah perbatasan
Tangerang Bogor. Di tempat itulah, ia menerima sepucuk surat dari
Sultan Haji, yang berisi bujukan dan permohonan, agar Sultan Ageng
Tirtayasa bersedia kembali ke Istana Surasowan. Setelah dirundingkan
dengan para pembesar dan pembantunya yang setia, Sultan Ageng Tirtayasa
memutuskan untuk kembali ke ibukota Surasowan.
Sementara yang
lain menunggu di Sajira, pada tanggal 14 Maret 1683 malam hari, Sultan
Ageng Tirtayasa bersama para pengawalnya, memasuki keraton Surasowan.
Kedatangan Sultan Ageng Tirtayasa, disambut baik dengan penuh rasa
hormat, oleh Sultan Haji. Beberapa hari kemudian, utusan Kompeni Belanda
tiba di Keraton Surasowan. Pada saat itulah, Sultan Ageng Tirtayasa
ditangkap oleh Kompeni Belanda dan dibawa ke Batavia.
Kemungkinan
besar, bukan maksud Sultan Haji menjebak ayahnya. Karena terbukti,
dikemudian hari Sultan Haji tetap menghormatinya. Penangkapan itu, lebih
didasari karena Kompeni Belanda khawatir, jika Sultan Ageng Tirtayasa
dibiarkan tetap berada dekat puteranya di Surasowan, dapat mempengaruhi
dan mengubah sikap Sultan Haji. Akan tetapi, Sultan Haji tidak berdaya.
Ambisinya terhadap tahta Kesultanan Banten, terlalu besar untuk
dikorbankan bagi kebebasan dan keselamatan ayahnya Bahkan demi
kehormatannya sendiri. Karena dialah yang mengundang dan menjamin
keamanan ayahnya di Surasowan.
Mungkin saja, Sultan Haji hanya
sanggup meminta kepada Kompeni Belanda, agar ayahnya tidak dibunuh atau
dibuang. Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di dalam benteng Kompeni
belanda dengan "terhormat", di bawah pengawasan dan penjagaan yang
ketat. Sultan Ageng Tirtayasa wafat dalam penjara pada tahun 1692.
Jenasahnya diminta dan dikebumikan di sebelah utara Masjid Agung Banten.
Sebutan Sultan Agung atau Sultan Ageng, yang diberikan rakyat Banten
kepadanya, menunjukkan kebesaran Sultan Abulfath Abdulfatah.
Sultan
Ageng Tirtayasa, ialah musuh besar Kompeni Belanda. Akan tetapi, sumber
sumber resmi yang ditulis oleh pihak Belanda sendiri, tidak satupun
yang mencela watak atau perilaku pribadinya. la dihormati dan disegani
oleh lawannya. Walaupun Rijcklof Volckertsz van Goens membencinya, ia
tidak pernah mencela sifat sifat Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, Vlekke
menyebutnya: de sluwe Abdoelfatah (Abdulfatah yang cerdik).
Di
bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai masa kejayaan.
Tanpa ragu ragu, Vlekke (1947: 193) mengutarakan pujiannya kepada Sultan
Ageng Tirtayasa, sebagai "yang terbesar di antara para Sultan Banten".
Menurut pengamatannya, dalam berbagai sumber, ia menyebutkan, bahwa
"Abdulfatah dengan penuh vitalitas, mencoba memodernkan negaranya, serta
menjadikannya pusat gerakan Islam di Nusantara".
Selanjutnya dalam catatan Vlekke, dikemukakan pula:
Prestasinya
yang terbesar, adalah keberhasilannya membangun dan mengembangkan
perdagangan laut. Seperti juga raja Makasar, Sultan Banten, telah
berhasil memikat para pedagang Inggris, Denmark, dan Perancis. Sehingga,
mereka merasa senang, menjalin hubungan niaga dengan Pelabuhan Banten.
Atas
bantuan orang orang Eropa, mulailah ia membangun kapal kapal sendiri.
Dalam tahap permulaan, dipimpin oleh para nakhoda Eropa, melakukan
pelayaran ke Philipina, Macao, Benggala dan Persia. Disertai salah satu
kapal milik Banten, putera mahkota (Sultan Haji), pergi berlayar ke
Mekah melakukan ibadah haji.
Para pedangan
India, Cina dan Arab, mengalihkan usaha niaga mereka secara besar
besaran ke Banten, setelah terdesak dari Malaka dan Makasar. Harga
barang niaga yang dijual di pasar Batavia, melonjak naik, akibat
persaingan dari Pelabuhan Banten, disebabkan tindakan keniagaan Sultan
Abdulfatah. la pun menuntut hak, atas perniagaan pala di Ambon dan
perniagaan timah di Semenanjung Malaka, yang ditolak secara congkak oleh
pimpinan Kompeni Belanda di Batavia.
Orang berkata, "Tidak
pernah terjadi sebelumnya”. Juga dalam zaman puncak kebesaran pelayaran
Nusantara, sebelum kedatangan orang Portugis, ada kegiatan perdagangan
yang demikian besar dan melimpah di pelabuhan-pelabuhan Nusantara,
seperti yang dapat disaksikan di Pelabuhan Banten dalam tahun tahun
pemerintahan Sultan Abdulfatah. Hal itu justeru tetjadi, dalam saat saat
kekuatan Komperli Hindia Timur, berada pada titik puncaknya.
Sultan Ageng Tirtayasa, adalah penguasa terakhir Kesultanan
Surasowan Banten yang merdeka. la menolak berbagai saham kekuasaan
dengan orang luar, dari manapun asalnya. Kesadaran politik inilah, yang
tidak dimiliki oleh Sultan Abdulkahar (Sultan Haji). Sultan Haji
mengira, Gubernur Jenderal Kompeni Belanda sebagai "bangsawan keraton"
bermoral kesatria, bukan sebagai "bangsawan niaga", yang sopan santunnya
ditetapkan oleh norma norma perdagangan.
Tentang tahun
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, terdapat kesimpang-siuran, dari
sumber-sumber yang ada. Muhammad Ismail, dalam buku Petunjuk Jalan dan
Keterangan Bekas Kerajaan Kesultanan Banten (1983), penerbit Saudara,
Serang, sebagaimana yang dikutip oleh Halwany Michrob, menyebut angka
tahun 1651 sampai dengan 1672, untuk tahun kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa. Padahal, pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa masih
melakukan penobatan (wisuda) para Pangeran Cirebon, dengan kapasitasnya
sebagai Sultan Banten. Mungkin penunjukkan tahun 1672, berdasarkan
pelantikan Sultan Haji sebagai Sultan Anom pada tahun 1671, dan
penyerahan kekuasaan dalam negeri kepadanya. Oleh sebab itu, kekuasaan
Sultan Ageng Tirtayasa, berakhir pada tahun 1683, ketika terjadi
penangkapan terhadap dirinya, oleh pasukan Kompeni Belanda di Istana
Surasowan.
Akibat peristiwa penangkapan tersebut, para
pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, melanjutkan perjuangannya secara
gerilya. Satu tahun lamanya, Kompeni Belanda direpotkan oleh pasukan
tempur gerilya di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Adik
Sultan Haji, yaitu Pangeran Sake, juga berpihak kepada Pangeran Purbaya.
Perjuangan
terus dilakukan oleh generasi selanjutnya. Salah satunya, yang sempat
memusingkan Kompeni Belanda pada abad ke 18, ialah cucu Sultan Ageng
Tirtayasa, putera Pangeran Sake, yaitu Tubagus Mustafa, atau lebih
dikenal umum dengan sebutan Ki Tapa.
G.CATATAN BERHARGA
Peristiwa
sejarah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa, tercatat sebagai Pahlawan
Keprajuritan Nasional. Karena nilai nilai kepahlawanannya, telah
memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Mengandung semangat keprajuritan nasional Indonesia;
- Merupakan perjuangan pembelaan negara (bangsa dan tanah air), termasuk perjuangan mempertahankan dan memelihara keamanan negara;
- Merupakan perjuangan menentang kekuasaan asing yang menjajah;
- Meliputi peristiwa yang terjadi dan tokoh yang hidup dalam periode antara abad ke 7 sampai dengan abad ke 19 Masehi;
- Hasil pertimbangan yang baik dari segi historis, politis, psikologis, edukatif, artistik, dan lain lain.
Pada
tahun 1985, berdasarkan Surat Perintah Panglima ABRI tanggal 12
Desember 1984, No. Sprin.'783/P/XII/ 1984 dan Surat Keputusan Panglima
ABRI, tanggal 8 April 1985, No. Skep/182/N/1985, dibentuk tim, untuk
meneliti, menelaah dan menyusun peristiwa bersejarah tokoh tokoh pejuang
di Tatar Sunda. Tim inti itu, terdiri dari: Prof. Dr. Edi S. Ekadjati
(Ketua); Drs. Saleh Danasasmita (Anggota); dan Drs. Saini K.M.
(Anggota).
Penelitian yang dilakukan oleh para akhli tersebut,
berdasarkan; tingkat volume lama perjuangan; luas wilayah perjuangan;
jumlah pasukan pengikut yang dikerahkan; kesulitan yang dialami; jumlah
korban pada pihak musuh; dan dukungan rakyat. Setelah dilakukan
penelusuran, penelitian, dan pembahasan terhadap peristiwa-peristiwa
dari tokoh tokoh sejarah di Tatar Sunda, diusulkan 8 tokoh dan peristiwa
keprajuritan nasional, antara lain:
- Sri Baduga Maharaja, raja Sunda Pajajaran yang hidup pada abad ke 15/16 Masehi. la raja yang bijaksana, gagah berani, serta banyak memperhatikan dan berbuat bagi kesejahteraan rakyatnya. Dalam tradisi masyarakat Jawa Barat, raja ini terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi;
- Perlawanan rakyat Banten, di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap Kompeni Belanda (1651 1683);
- Perlawanan rakyat Priangan di bawah pimpinan Prawatasari terhadap Kompeni Belanda (1703 1707);
- Perlawanan rakyat Banten di bawah pimpinan Kyai Tapa terhadap Kompeni Belanda (1720 1723);
- Perlawanan Sultan Matang Aji Cirebon terhadap Kompeni Belanda (abad ke 18 Masehi);
- Perlawanan rakyat Majalengka dan Cirebon, di bawah pimpinan Bagus Rangin dan Bagus Jabin terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris (1802 1819);
- Perlawanan Bupati Sumedang R.T.A. Surianagaca (Pangeran Kornel) terhadap Gubernur Jendral Daendels (1810);
- Perlawanan rakyat Banten di bawah pimpinan Haji Wasid terhadap pemerintahan kolonial Belanda (1888);
Dari
hasil seleksi pada waktu itu, terpilih 3 tokoh dan peristiwa sejarah,
yang memenuhi kriteria Pahlawan Keprajuritan Nasional, antara lain:
- Sultan Ageng Tirtayasa, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Banten terhadap Kompeni Belanda (1651 1683 Masehi);
- Bagus Rangin, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Majalengka dan Cirebon, terhadap pemerintah kolonial Belanda dan Inggris (1802-1819 Masehi); dan
- Raden Alit Prawatasari, tokoh pimpinan perjuangan rakyat Priangan terhadap pemerintah Kompeni Belanda (antara abad ke 17 sampai dengan abad ke 18 Masehi).
Ketiga
tokoh tersebut, terukir oleh tinta emas sejarah, sebagai Pahlawan
Keprajuritan Nasional Indonesia. Kini dirama dan patungnya, dipamerkan
di Museum Keprajuritan Nasional Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.
( Penulis :Mohamad Tedja Arum Rochematulloh )
0 komentar:
Posting Komentar