Jumat, 27 Maret 2015

ANTARA DANGIANG GALUH PAKUAN DAN BUANA PAKSI PANCA TENGAH

Sebuah tinjauan budaya terhadap Purwakarta dan Karawang

Pada saat mengunjungi Kota Purwakarta tahun 2013 lalu, saya melihat cukup banyak tulisan “Purwakarta Dangiang Galuh Pakuan” beserta gambar Bupati Dedi Mulyadi, menghiasi sudut-sudut kota. Itu sesuatu yang menarik. Saya mengenal daerah Purwakarta sebagai kota santri, sehingga pernyataan bercorakbuhun seperti itu tak ayal membuat saya penasaran. Iseng-iseng sayapun mencoba menelaah makna kalimat “Dangiang Galuh Pakuan”. 

Secara bahasa, kalimat itu tersusun dari kata dangiang, Galuh, dan Pakuan. Kata dangiang biasanya merujuk pada sesuatu yang bernilai sakral, suci atau keramat. Bisa sesuatu berupa tempat, orang ataupun benda. Penggunaan lain yang hampir senapas adalah Sanghyang dan Rahyang, yang secara umum memiliki maksud berupa penghormatan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki keku atan tinggi, gaib dan luhur. 

Sedangkan kata Galuh dan Pakuan merujuk pada eksistensi dua kerajaan kuno Sunda, yakni Pakuan di Bogor dan Galuh di Ciamis, yang keduanya dipisahkan oleh Sungai Citarum. Kedua kerajaan itu kemudian bersatu dan sering disebut dengan sebutan Galuh Pakuan pada masa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja. Pada masa-masa selanjutnya kerajaan itu popular dengan sebutan Pakuan Pajajaran. Jadi secara singkat, Purwakarta Dangiang Galuh Pakuan dapat bermakna sebagai sebuah “proklamasi” keberadaan Purwakarta sebagai wilayah suci kekuasaan Galuh dan Pakuan. Dan hal ini masuk diakal manakala kita melihat letak geografis Purwakarta yang berada di tengah-tengah perbatasan kekuasaan Galuh dan Pakuan, yang seakan-akan menjadi titik penyatuan dua kekuasaan besar Sunda pada masa lalu.

Pada perkembangan selanjutnya, saya kemudian mendapati arti lain dari pengertian Dangiang Galuh Pakuan. Hal itu sata dapati ketika mencari informasi lebih banyak tentang sosok Dedi Mulyadi yang ketokohannya sebagai pemimpin berkarakter Nyunda semakin popular. Dedi Mulyadi atau yang lebih akrab disebut Kang Dedi memaknai Dangiang Galuh Pakuan sebagai suatu filosofi budaya yang memiliki arti kewibawaan (dangiang) yang dilandasi hati yang tulus (Galuh/Galeuh) sehingga bisa bertindak konsisten dan teguh dalam pendiriannya (Paku/Pakuan).

Menariknya, filosofi kebudayaan seperti itu tidak berhenti sebatas tema mentereng. Didukung oleh kapasitas dan kewenangannya sebagai kepala daerah, Kang Dedi kemudian merumuskan pemikirannya dalam berbagai kebijakan pembangunan berbasis kebudayaan yang dampaknya cukup luar biasa. Kita melihat bagaimana dia mengganti nama-nama sekolah dengan nama tokoh-tokoh Sunda, merumuskan program-program dengan sentuhan budaya yang sangat kuat semisal kenduri cinta birokrat; seba nagari, dan masih banyak yang lainnya. Inovasi kebudayaan seperti itu pada akhirnya bergaung melewati sekat-sekat wilayah dan menjadikan Purwakarta termasuk kota berprestasi. Namun yang lebih menggetarkan tentu saja safari budayanya yang mengambil tema Dangiang Galuh Pakuan dan mengkampanyekan nilai-nilai budaya sebagai spirit pengenalan jati diri dan pembangunan masyarakat. Sekarang, istilah Dangiang Galuh Pakuan bergema di banyak wilayah di Jawa Barat.

Menariknya, ketika Purwakarta sedang sibuk mengkampanyekan nilai-nilai kearifan lokal sebagai semangat pembangunan, kota tetangga yang juga saudara tua Purwakarta, yakni Karawang justru sedang mengalami pergulatan budaya. Pada masa lalu, Karawang dan Purwakarta satu wilayah. Jadi latar belakang sejarah dan budaya antara Karawang dan Purwakarta sebenarnya tidak jauh beda. Tetapi dalam perkembangannya corak kebudayaan kedua kota mengalami perbedaan yang sangat kentara. Karawang tampil sebagai kota dengan perpaduan budaya yang sangat kental. Apalagi ketika memasuki era modern dimana Karawang menjadi kawasan industri terbesar di Asia Tenggara dan menjadi magnet bagi orang-orang dari berbagai daerah dengan latar belakang budaya bermacam-macam. Pada fase itu Karawang mengalami pergumulan budaya yang cukup kritis yang oleh sebagian budayawan lokalnya sering diistilahkan ngarangrangan, suatu keadaan dimana nilai-nilai budaya, kearifan lokal, sejarah dan jati dirinya kian tergerus oleh laju perubahan yang begitu cepat. Oleh karenanya tidak mengherankan jika sekarang ini banyak budayawan, seniman dan generasi muda Karawang termasuk para tokoh yang mengharapkan adanya upaya-upaya lebih serius dari pemerintah daerah untuk menggali kembali nilai-nilai budaya lokal. Dan jika Purwakarta mendengungkan mengenai Dangiang Galuh Pakuan maka kalangan budayawan Karawang mempopulerkan istilah Buana Paksi Panca Tengah sebagai filosofi budaya, nilai-nilai kearifan dan semangat tata salira dan tata nagara. Konsep Buana Paksi Panca Tengah diyakini memiliki arti yang dapat mentransformasikan keagungan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks kekinian.


BUANA PAKSI PANCA TENGAH

Buana Paksi Panca Tengah terdiri dari kata Buana, Paksi dan Panca Tengah (Panca dan Tengah).
Buana berarti dunia atau tempat yang kita diami berserta segala anasir pendukungnya, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat. Paksi berarti manuk, burung, atau dalam kepercayaan Sunda Kuno dianggap sebagai gambaran dari dunia atas, dunia agung yang tak tertandingi, atau kahyangan tempat para dewa dan pohaci. Sedangkan Panca Tengah merupakan sebutan purba untuk dunia ini, melengkapi dunia lainnya seperti buana nyungcung atau dunia langit dan buana larang atau jagat pancaka, dunia gaib termasuk neraka dan . Dari persfektif lain, Panca Tengah dapat juga dimaknai sebagai titik tengah (puser atau pancer) dari empat (papat) tata wilayah dalam terminologi kuno papat kalima pancer, empat wilayah dengan wilayah kelima sebagai titik pusatnya. Semua pengertian itu dengan mudah dapat kita temukan pada literatur Sunda seperti pantun.

Jadi silib siloka dari Buana Paksi Panca Tengah bisa diartikan sebagai tempat yang tinggi, tak tertandingi dan dimuliakan yang berada di dunia, yang menjadi titik pusat dari empat wilayah lainnya. Secara geografis Karawang dengan titik Sanggabuananya adalah wilayah yang dikelilingi empat kabupaten; Purwakarta, Bogor, Cianjur dan Bekasi.

Dari filosofi budaya di atas kita melihat adanya penegasan Karawang sebagai daerah yang memiliki banyak potensi untuk menjadi hebat dan “tak tertandingi” serta menjadi poros pembangunan bagi empat kabupaten tetangga. Hal ini sesuai pula dengan dongeng-dongeng yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang meramalkan Karawang akan menjadi kota yang maju luar biasa. 

Jadi dengan konsep Buana Paksi Panca Tengah, Karawang memiliki spirit budaya untuk menjadi wilayah unggul dan menjadi leader dalam tata buana yang benar atau pengelolaan alam secara bijak sebagaimana disimbolkan paksi yang mewakili kosmologi dunia atas, atau langit. Hal ini menunjukkan bahwa alam dan kebudayaan adalah modal penting bagi Karawang untuk menjadi seperti yang diramalkan para orang tua dahulu. Bedanya, jika Dangiang Galuh Pakuan mampu menjadi konsep real di tengah masyarakat karena adanya Kang Dedi sebagai pemimpin daerah, maka Buana Paksi Panca Tengah seakan masih menunggu datangnya Ratu Adil Palamarta, yang menurut Kidung Karawang, akan mampu membawa Karawang pada puncak kemajuannya.




Asep R Sundapura 

Karawang, Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar

PUPUHU

Foto saya
Saya adalah Insan tani Karawang, yang tetap menjungjung Budaya Leluhur Sunda.