“Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah!” seru Wikana.
Tiba-tiba Soekarno melonjak dari duduknya, berdiri, menghampiri Wikana, dan membuka lehernya. “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok!”
"Kita ke Rengasdengklok" Saya berujar pada tim sore itu. "Seminggu sebelum Hari Kemerdekaan kita akan Napak Tilas." Lanjut saya lagi.
Rekan saya salah satu founder Indonesia Hidden Heritage Any Septiani terdiam sebentar memikirkan alternatif pilihan transportasi yang paling efektif, kemudian berkata, "Pakai Mobil gue aja." Kami semua setuju, "Kita berangkat jam 7 pagi dari Ciracas." Lanjutnya.
Minggu awal agustus kami berangkat walaupun minus Any yang mendadak sakit memulai penelusuran ke Rengasdengklok, Karawang.
Buat Saya Rengasdengklok merupakan titik kritis dari kelahiran negara ini. Sejarah mengisahkan golongan muda seperti Wikana dan golongan tua di kubu Soekarno-Hatta bersitegang sejak 15 Agustus 1945.
Sore itu, 15 Agustus 1945, suasana Jakarta diliputi ketidakpastian. Kabar soal menyerahnya Jepang sudah demikian masif tersebar di kelompok-kelompok pemuda anti-Jepang. Tapi, belum ada konfirmasi resmi dari otoritas Jepang di Jakarta.
Radio resmi Jepang pun berhenti siaran sejak sehari sebelumnya. Atas alasan ini para aktivis muda di Jakarta yakin Jepang memang telah menyerah. Maka inilah saatnya rakyat Indonesia segera ambil inisiasi untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tapi, kubu golongan tua Soekarno dan Hatta masih enggan bergerak tanpa ada kejelasan status resmi dari Jepang.
Itulah musabab Soebadio menemui Hatta di rumahnya sore itu. Adu mulut pun tak terhindarkan karena Hatta tak mau dipaksa menyegerakan proklamasi. Hatta yang sedang menekuni rancangan proklamasi untuk dirapatkan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) esok harinya jadi jengkel karena dituduh ragu-ragu.
“Tindakan yang akan engkau adakan itu bukanlah revolusi, tetapi putsch, seperti yang dilakukan dahulu di Muenchen tahun 1923 oleh Hitler, tetapi gagal,” timpal Hatta.
Sebagaimana ia tulis dalam Untuk Negeriku : Sebuah Otobiografi (2010 : 78). Rupa-rupanya bukan Hatta saja yang kena desak, tapi juga Soekarno.
Malamnya, Wikana dikawani Soebadio, Suroto Kunto, dan D.N. Aidit sebagai perwakilan kelompok pemuda mendatangi kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur. Hatta juga datang ke sana setelah percekcokan kian sengit. Wikana dan para pemuda itu mendesak Bung Karno mengobarkan revolusi malam itu juga. Massa sudah siap, bantuan dari Peta dan Heiho semua menunggu komando. Kalau pun harus pecah kontak senjata dengan Jepang, juga jadilah.
“Tapi kalian tidak kompak. Tidak ada kesatuan di antara kalian. Ada golongan kiri, ada golongan Sjahrir, golongan intelektual, yang semua mengambil keputusan sendiri-sendiri,” cecar Sukarno, sebagaimana disebut Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014: 250). Bagi para pemuda, kemerdekaan mesti diproklamasikan atas nama rakyat dan di luar proses PPKI. Kenyataan bahwa Jepang sudah kalah semestinya menggugurkan juga wewenangnya untuk mengatur cara Indonesia merdeka. Sementara Sukarno-Hatta tidak mau mengambil risiko bentrok dengan Jepang yang membuang tenaga percuma.
Ditengah argumentasi memanas menuju adu fisik antara Wikana dan SoekarnoHatta akhirnya angkat bicara juga. Dengan dingin ia menolak segala rencana Wikana dan kawan-kawan. Lebih baik mereka cari pemimpin lain saja untuk mengobarkan revolusi jika memang ingin. Dan tentu saja itu membuat golongan muda tak berkutik, karena mereka tahu hanya dua tokoh ini yang memiliki pengaruh di seluruh Nusantara.
Setelah mendapatkan penolakan dari golongan tua, para pemuda mengadakan pertemuan tertutup di sebuah ruangan belakang Laboratorium Biologi Pegangsaan Timur 17 (Saat ini sudah menjadi FKM UI).
“Segera bertindak, Bung Karno dan Bung Hatta harus kita angkat dari rumah masing-masing” . Chaerul Saleh yang memimpin rapat, ikut menegaskan keputusan rapat dengan berkata “Bung Karno dan Bung Hatta kita angkat saja. Selamatkan mereka dari tangan Jepang dan laksanakan Proklamasi tanggal 16 Agustus 1945”.
Rencana untuk mengamankan Soekarno dan Moh.Hatta dari tangan Jepang pun disepakati. Shodanco Singgih yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, ditunjuk untuk memimpin pelaksanaan rencana saat itu juga.
Sekitar pukul 03.00 pagi Shodanco Singgih
mendatangi kediaman Soekarno. Ia
meminta Soekarno untuk ikut kelompok pemuda malam itu juga, Soekarno tidak menolak namun meminta para pemuda agar istrinya ibu Fatmawati dan anaknya Guntur (masih berusia 8 bulan) serta Moh.Hatta untuk ikut serta.
Menjelang subuh, sekitar pukul 04.00 tanggal 16 Agustus setelah santap sahur, mereka segera melakukan perjalanan menuju Rengasdengklok dengan pengawalan dari tentara Peta. Para pemuda memilih Rengasdengklok sebagai tempat membawa Soekarno dan Moh.Hatta dengan pertimbangan keamanan daerah tersebut. karena ada Daidan Peta di Rengasdengklok yang mempunyai hubungan baik dengan Daidan Jakarta.
Jarak Rengasdengklok, berkisar 15 km dari Kedunggede, Karawang. Sesampainya rombongan pemuda dan Soekarno ditempatkan di rumah seorang keturunan Tionghoa, bernama Djiaw Kie Siong yang beralamat di Desa Rengasdengklok Utara RT 001/09 No.41 , kecamatan Rengasdengklok, kabupaten Karawang, Jawa Barat. Djiaw Kie Siong adalah seorang petani kecil yang merelakan rumahnya untuk ditempati para tokoh tersebut.
Melalui pembicaraan serius antara Shodanco Singgih dengan Soekarno yang berusaha meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu dan para pejuang Indonesia telah siap untuk melawan Jepang apapun resikonya, akhirnya Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekan Indonesia setelah kembali ke Jakarta. Dengan senang hati akan keputusan tersebut, pada siang hari Shodanco Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan yang sudah mendapatkan persetujuan oleh Soekarno.
Sementara itu di Jakarta, sedang diadakan perundingan Ahmad Subarjo (golongan tua) dan Wikana (golongan muda), hasil perundingan tersebut sampai mencapai kata sepakat bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilaksanankan di Jakarta dan Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumahnya sebagai tempat perundinganan dan bersedia menjamin keselamatan para tokoh tersebut.
Berdasarkan kesepakatan yang telah diambil antara golongan pemuda, golongan tua dengan Laksamana Tadashi Maeda tentang proklamasi kemerdekaan, Jusuf Kunto bersedia mengantarkan Ahmad Subarjo dan sekretaris pribadinya untuk menjempuk Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok.
Ahmad Subarjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawanya pada para pemuda bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1945 sebelum pukul 12.00. Dengan jaminan tersebut, komandan kompi Peta Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Moh.Hatta beserta rombongannya untuk kembali ke Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar