Selasa, 18 Juni 2019

SEJARAH PETENG CARUBAN

Tertutup & Sengaja Ditutup
=====================

Karaton Kanoman
Maaf sebelumnya, tulisan ini saya salin dari cerita Rd. Kholil Abdullah, dimana tulisan ini saya salin kembali dengan tidak bermaksud apa-apa, melainkan murni untuk kelarifikasi, dan sebagai orang Islam ber kewajiban untuk menyampaikan atau memberikan informasi yang kami miliki, atau kalau dalam bahasa Al-Qurannya yaitu “Watawa show bil haqq” dan informasi ini sifatnya hanya untuk keluarga besar kami, tidak ada unsure lain, sebab masih banyak keluarga kami yang tidak mengetahuinya, meski nama Buyut kami itu sudah banyak dipakai untuk nama jalan (Cirebon dan Brebes), dan mungkin saja masyarakat yang telah mengabadikan nama Buyut kami melalui nama jalan itu juga kurang mengetahui siapa dan dari mana sebenarnya berasal. Karenanya kami selaku keturunannya sedikit mau berbagi dengan anda, barangkali ada diantara anda masih ada yang termasuk saudara kami.

Saya sendiri masih termasuk Keluarga besar Cirebon, tepatnya saya dari Keluarga Besar Cirebon yang ada di Mertasinga dan Susukan Lebak - Cirebon. Dengan mengucapkan “A’uudzubillaahi Minasy Syaithoonir Rojiim Bismillaahir Rahmaanir Rahiim” Kisah ini akan kami mulai :


Cikal Bakal Terjadinya Pemberontakan di Cirebon
Kebanyakan orang hanya tahu nama, tidak tahu siapakah nama sebenarnya Buyut Rancang, dan dari mana beliau berasal. Untuk mengetahui detailnya, kami sebagai anak cucunya, akan memberikan runutan cerita beliau, biar yang selama ini jadi misteri, akan terkuak. Akan tetapi sebelum kami memulai cerita, kami ajak anda untuk berfikir dan berangan- angan kebelakang pada 300 tahun yang silam dimana Kedudukan Cirebon pada waktu itu berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram.

Ketika itu Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 M hingga 1677 M. Masa pemerintahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah.  Pada zaman Amangkurat I, Penguasa Cirebon Panembahan Girilaya (bernama lahir Pangeran Abdul Karim), cucu Panembahan Ratu dan sekaligus sebagai menantu Amangkurat, atas desakan VOC meminta kepada pihak Mataram agar Cirebon yang pada waktu itu masih tidak mau tunduk kepada VOC, agar bisa datang untuk menemui Mataram dengan alasan sowan kepada mertua.
Karaton Kasepuhan

Mendapat desakan dari VOC akhirnya pihak Mataram yang sudah terpengaruh VOC mengundang menantunya Panembahan Girilaya atau Pangeran Abdul Karim agar menghadap ke Mataram. Dengan berat hati permintaan pihak Mataram itu akhirnya disetujui. Keberangkatan Gusti Panembahan tersebut dengan disertai kedua puteranya, yakni Pangeran Mertawijaya (Pangeran Syamsuddin) dan Pangeran Wangsakerta (Pangeran Afifuddin) Sebagai pengganti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran Kertawijaya (Pangeran Badruddin).  Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 M.  Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada ke dua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Pangeran Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman.

Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain termasuk Cirebon. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya.

Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi Cirebon setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pewaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon berkuasa tiga sultan, masing-masing Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Cerbon.

Sementara itu di Mataram sebagai akibat dari pemberontakan Tarunajaya, bertumpuklah hutang yang harus dibayarkan kepada pihak VOC- Belanda yang membantu Amangkurat I. Pihak Mataram membayar hutang nya itu dengan cara melepaskan pelabuhan-pelabuhan potensial beserta penghasilan yang amat menguntungkan itu kepada VOC.

Akibat kelanjutan perbuatan Amangkurat I adalah adanya penghapusan gelar Sultan dari penguasa Cirebon pada tahun 1681 Masehi. Sebagai gantinya, raja-raja Cirebon kembali pada gelar Panembahan yang sesungguhnya lebih rendah dari Sultan.Kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Setelah Panembahan terakhir gugur dimedan pertempuran akibat adanya penghianatan dan dalam rangka mempertahankan kedaulat an dan syari’at Islam yang diyakininya dan wafat sebelum sempat mewariskan tahta kepada keturunannya yang saat itu masih kecil-kecil (akan dikisah kan dalam episode lanjutan), daerahnya kemudian menjadi terbagi-bagi dan dikuasai oleh para pangeran.

Setelah Cirebon mengalami kekalahan melawan VOC, pihak Keraton Cirebon pada waktu itu sudah tidak mengelola Negara lagi, semuanya diatur pihak Pemerintah Kolonial, dan sebagai gantinya Sultan dan para pangeran hanya diberikan subsidi atau gajih dari VOC. dan tidak mempunyai kewenangan apa-apa, sampai pengangkatan Sultan pun harus menunggu rekomendasi Pemerintah Kolonial Belanda, apalagi gelar kebangsawanan, itu semua diatur oleh Belanda, alasannya karena kalau terlalu banyak para pinangeran, pihak pemerintah akan mengeluarkan anggaran yang sangat besar, sehingga pada waktu itu gelar kebangsawanan dibatasi oleh pemerintah, dan tidak sembarang orang akan memakainya, semuanya harus berdasarkan besluit pemerintah (karena menyangkut gajih). Sultan hanya bersifat mengusulkan.

Sultan pada waktu itu hanyalah diberi sebagai pengelola Keraton, kesenian, dan masih diperbolehkan membuat silsilah (tentunya dalam pengawasan Pemerintah Belanda), dan mengelola adat istiadat yang biasa dilakukan Keraton seperti Hulu bakti, matur bakti, grebeg syawal, panjang jimat, muludan, dan lain sebagainya hanya itu. Karenanya tidaklah heran kalau banyak para pinangeran yang merasa tersihkan dan tidak diakui oleh pihak VOC atau Pemerintah Belanda.  Pembatasan gelar kebangsawanan terhadap keluarga Keraton dan aturan-aturan Keraton lainnya yang bersendikan Syari'ah Agama Islam itu harus disesuaikan dengan aturan Pemerintah Belanda. Sementara pihak Keraton sendiri tidak bisa berbuat banyak. dengan sangat terpaksa, diharuskan menyetujui aturan tersebut.

Adanya dua hal pokok itulah banyak masyarakat dan keluarga keraton, pada waktu itu merasa sangat dilecehkan, dan tidak dihargai sama sekali. para kaum santri dipasung kebebasan berekspresi dalam beribadah kepada Allah SWT, kaum bangsawan yang tidak mendapatkan rekomendasi Pemerintah dijadikan Abdi dalem Masyarakat, dan tidak mendapatkan gajih dari pemerintah. Kaum santri dari kalangan bangsawan yang mendapatkan rekomendasi pemerintah (mendapat gaji), juga tidak cocok dengan aturan semacam itu.  Para kaum intelektual dan cendikia dari golongan bangsawan keturunan keraton, banyak yang keluar meninggalkan istana dan memilih bergabung dengan masyarakat dan kaum santri, dan berawal dari situlah sering muncul api pemberontakan dimana-mana. seperti di Kerawang, Di Sumedang, Di Majalengka, Di Cirebon, dan di beberapa daerah lain di Jawa Barat.

Para pemimpin pemberontakan itu semuanya adalah sebagian besar kaum santri yang di pimpin langsung oleh Kiainya sendiri seperti Di Kerawang muncul pemberontakan atau kerusuhan yang di pimpin Ki Bagus Rangin, Di Sumedang dipimpin Ki Bagus Serit, Di Cirebon dipimpin langsung oleh Ki Bagus Jabin, Di Cirebon Timur dipimpin Bagus Sidong dan di Majalengka dipimpin oleh Ki Bagus Arsitem. Dan semua nama-nama itu bukan nama asli, nama itu hanyalah nama- nama inisial atau nama sandi dalam perjuangan, agar jati dirinya tidak dapat diketahui musuh. 

Sehingga dalam hal ini pihak Pemerintah Kolonial sendiripun sangat merasa kewalahan untuk menangkap dan meredam pemberontakan tersebut, hampir lebih kurang 30 tahun pemberontakan di Cirebon tidak bisa dipadamkan.  Pemberontakan yang yang sangat besar dan tercatat dalam sejarah (1816-1818) yang dikenal dengan nama “Perang Kedongdong” yang sangat monumental dan sekaligus merupakan cikal bakal “Perang Diponegoro”.  Yang memahami perang pasti yang ditanya, siapa yang mengotaki atau dalang dibalik itu semua…?  "Penghianatan Internal Keluarga Keraton"  Menurut cerita para pinisepuh keluarga kami bahwa pada jaman dahulu sekitar 300 tahun yang silam tentang adanya kemunduran Kesultanan Cirebon semakin meningkat sejak tahun 1773 Masehi. Saat itu Panembahan dijabat oleh Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin II atau yang lebih dikenal Raja Suna (Amir Tsani).  Pada saat itu Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin II usianya hampir menjelang sepuh, akan tetapi beliau masih belum dikaruniahi seorang putra yang hidup sebagai pewaris tahtanya. Garwa Padmi (Istri pertama/Permaisuri) beliau, setiap melahirkan anak itu selalu meninggal disaat usianya masih kecil, sehingga beliau pikirannya selalu masygul, gelisah dan tidak tenang, memikirkan nasib Cirebon dan Syari’at Islam kedepan setelah kemunduran beliau nanti.


Didalam kegamangan itu tiba-tiba muncul Permana (bukan nama asli, nama itu biar keluarga kami yang tahu, tidak perlu diekpos, demi menjaga nama baik dan keutuhan keluarga) Permana adalah salah seorang mantan petinggi Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran yang berhasil ditaklukkan Cirebon dan kemudian dijadikan sebagai tahanan perang oleh Sultan yang dikaryakan sebagai penerjemah bahasa sankrit atau sansekerta Permana saat itu sudah dikenal sebagai ahli dalam Bahasa Sansekerta.  Permana dikesempatan itu mengusulkan, agar beliau menikahi keponakannya, yang katanya masih keturunan Raja Pajajaran, dan usulan Permana itu disetujui Garwa Padminya, mengingat garwa padminya juga saat itu sudah berusia lanjut, maka pernikahan itupun segera dilaksanakan.  Didalam pernikahan itu Gusti Panembahan Sepuh dianugerahi 3 orang anak (kami tidak perlu menyebutkan siapa anak-anak itu, namun berkat anak-anak itulah Keraton Kesepuhan sampai sekarang masih ada dan terawat).

Beberapa tahun kemudian, diluar dugaan tiba-tiba garwa padmi beliau mengandung padahal usianya sudah hampir menjelang sepuh (itulah keagungan Allah SWT). Gusti Panembahan Sepuh merasa sangat bahagia mendengar garwa padminya mengandung, dan tidak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki.  Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin II kemudian memberinya nama anak itu dengan nama Pangeran Abu Khayat Suryakusumah (bergelar Pangeran Suryanagara I) atau Bapak Kehidupan, Gusti Panembahan memberikan nama yang lahir dari garwa padminya itu dengan nama Pangeran Abu Khayat Suryakusumah itu bertujuan agar anak ini bisa hidup dan mampu menghidup kan wasiat leluhurnya yakni “Ingsun titip tajug lan fakir miskin” juga bisa melanjutkan tahtanya.

Kemudian Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin II melengkapi nama Abul Khayat itu dengan nama Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara. Diambilnya nama Penengah dengan harapan agar Abul Khayat juga akan mempunyai seorang adik lagi.  Do’a Gusti Panembahan Sepuh itu dikabulkan oleh Allah SWT, terbukti selang beberapa tahun kemudian, garwa padminya hamil lagi dan melahirkan kembali seorang anak laki-laki, kemudian Gusti Panembahan Sepuh memberinya nama anak kedua itu dengan mengambil nama dari salah seorang ahli hadis dan sekaligus sebagai guru beliau yaitu Syekh Idrus.

Dengan mengambil nama guru beliau itu berharap agar anak kedua nya kelak dapat menjadi seorang ahli hadis dan sekaligus ahli dalam mengamalkan syari'at Islam.  Beliau melengkapi nama anak laki-laki yang kedua ini dengan nama Pangeran Idrus Suryakusumah Jayanegara.  Dengan harapan agar anak keduanya kelak dapat menyinari, mengharumkan, dan membawa negeri ini didalam kejayaan. dan sebagian ahli Keraton menamakannya Pangeran Aryajayanegara.

Setelah mereka berdua di khitan, mereka diwajibkan belajar untuk mendalami ilmu Agama sebagai syarat agar kelak setelah mereka dapat melanjutkan tahtanya nanti dengan tetap bersendikan Syariat Islam seperti pendahulunya.  Sementara dilain fihak Permana cs, kelihatannya merasa tidak senang melihat Gusti Panembahan Sepuh mempunyai anak dengan garwa padminya, maka mereka berusaha sekuat tenaga dan dengan apapun caranya agar anak-anak ini tidak dapat meneruskan kekuasaan ayahnya, sebab mereka sudah mempersiapkan calon putra mahkota yaitu anak dari keponakan nya, meski Permana tahu bahwa anak keponakannya itu bukan lahir dari seorang garwa padmi, maka sejak saat itu mereka sudah mulai kasak kusuk, dimulai dari kalangan internal dulu.  Setelah dari kalangan internal Keraton tidak ada yang mau mendukungnya, ia langsung minta bantuan dengan pihak musuh yaitu VOC pada waktu itu masih belum diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.  VOC atau yang masyhur orang menyebutnya Kompeni begitu mendapat informasi dari orang dalam lingkungan Keraton, tentu saja hal ini sangat direspon positif, kemudian dibuatlah perjanjian yang isinya antara lain Permana menghendaki agar keponakannya kelak dijadikan Sultan Kesepuhan Cirebon, usulan Permana itu pihak Belanda tidak merasa keberatan dan menerimanya dengan suka cita.

Setelah adanya kesepakatan itu VOC mempersiapkan segala sesuatunya termasuk diantaranya adalah setrategi jitu, sehingga setelah itu terjadilah peperangan dahsyat, dan Gusti Panembahan Sepuhpun pada waktu itu Gugur di medan pertempuran dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan syari’at yang diimaninya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1773 M.

Setelah Keraton Kesepuhan dapat dikalahkan VOC Belanda hanya dalam hitungan jam. Permana langsung menagih janji kepada VOC agar anak keponakannya meminta segera diangkat menjadi Sultan Kesepuhan Cirebon, Belanda pada waktu itu tidak langsung menyetujui dengan alasan Putra keponakannya masih kecil, masih dibawah umur menurut Undang-Undang Belanda, dan bukan itu saja tentunya pihak VOC sebagai pihak pemenang pada waktu itu sudah barang tentu seenaknya saja menambahi dengan syarat-syarat lain yang isinya menguntungkan pihak VOC, sebagian isi perjanjian itu antara lain :

1. Pihak Keraton (Kesepuhan, Kanoman, dan Kecerbonan) tidak memiliki kekuasaan secara politik.
2. Pihak Keraton hanya diberikan kewenangan mengelola adat istiadat yang berlaku, dan kesenian.
3. Sultan dan anak-anaknya akan mendapatkan gajih dari VOC.


Demi tujuannya Permana pun menyetujui dengan syarat apapun, dan tidak lama kemudian pihak VOC melantik seorang pejabat Sultan dengan alasan anak keturunannya masih kecil, jadi sambil menunggu mereka besar dan dewasa. dan beberapa tahun kemudian terlaksanalah penobatan Sultan Sepuh Raja yang selanjutnya kami tidak akan menceritakan siapa rajanya.

Sembilan tahun kemudian mereka berdua (Pangeran Suryanegara dan Pangeran Jayanegara) selesai menunaikan kewajibannya mempelajari ilmu-ilmu agama, keduanya pulang ke Keraton, mereka kaget bukan kepalang, pertama ayahnya telah wafat tidak ada yang kasih tahu, kedua adanya penobatan raja pengganti ayahandanya pun mereka tidak tahu. Ke tiga mereka sudah tidak berhak lagi menyandang gelar kebangsawanannya, akan tetapi masih diperbolehkan hidup dan tinggal di Keraton.

Setelah melihat kenyataan pahit seperti itu bahwa kehidupan mereka merasa terisolir hidup di Keraton, tidak mendapatkan apa-apa, dan bukan itu saja, mungkin pada waktu itu di Keraton sudah berbeda semua aturan Keraton sudah tidak terpakai dan mungkin sudah tidak sesuai dengan ajaran Syari’at Islam yang mereka peroleh dari para gurunya.  Pada tahun awal abad 18 keduanya meninggalkan Keraton yang sudah tidak ramah lagi terhadap mereka, dan aturan-aturan yang selalu mendiskreditkan mereka.




Detik-detik Menjelang Perang Kedondong
Diawal abad 18-an, kedua Putra Panembahan Sepuh Jaenuddin II, yang baru datang dari Pondok Pesantren itu merasakan ketidak nyamanan hidup dan tinggal didalam Istana. Menurut mereka sekarang Keraton itu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupannya dulu sewaktu mereka masih kecil dan tinggal didalamnya. Hampir setiap hari sekarang selalu dipenuhi dan didominasi orang- orang bule atau inlander yang pro terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.  Banyak Para Pinangeran yang tidak senang dengan aturan yang sekarang, dimana Kedudukan Sultan sebagai penguasa politik itu dihapus, Sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat yang berjalan selama ini. Sultan tidak mempunyai kewenangan apa-apa, bahkan sampai pengangkatan Pangeranpun praktis tidak bisa, semuanya diatur oleh Pemerintah Kolonial Belanda, Sebagai gantinya Sultan mendapatkan subsidi atau gajih dan mendapatkan pensiun dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Adanya aturan seperti itu praktis banyak para Pangeran yang tidak diperkenankan mendapatkan Gelar kebangsawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda, dan Belanda mewajibkan para pinangeran yang tidak mendapatkan Besluit (SK) diharuskan menjadi Abdi Dalem yang ditugaskan Pemerintah dan Sultan untuk terjun ke masyarakat dalam rangka menangani masalah-masalah social, namun mereka tidak mendapatkan gajih dari Pemerintah. Termasuk diantara para pinangeran yang tidak mendapatkan SK itu adalah kedua putra Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin yakni Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Surya kusuma Jayanegara atau Pangeran Aryajanegara (Gelar Pangeran itu pemberian langsung dari ayahandanya saat mereka usianya masih kecil-kecil).

Pada saat itu sekitar awal abad 18-an kedua putra mahkota itu memilih pergi meninggalkan kehidupan Keraton untuk menemui seorang ulama sufi yang sudah masyhur di daerah Cirebon dan sekitarnya Kiyai Abdul Mukhyi namanya yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Buyut Muji. Selang beberapa tahun kemudian mereka berdua dinikahkan dengan anak-anak gadisnya Ki Buyut Muji.  Pangeran Suryanegara dinikahkan dengan Nyai Layyinah, dan kemudian menurunkan anak cucunya di daerah Mertasinga, sementara Pangeran Jayanegara dinikahkan dengan adiknya yaitu Nyai Jamaliyah, dan menurunkan anak cucunya kebanyakan tinggal didaerah Plered Cirebon, dan sebagian ada yang di Ciwaringin.

Pangeran Suryanegara pada saat belajar/nyantri dulu adalah ahli dalam bidang ilmu alat (Nahwu, Shorof, Balaghoh, Manthiq, Ma’ani, Bayan) atau ilmu yang dijadikan salah satu syarat berijtihad dalam menentukan hokum-hukum Islam, karena yang dapat menguasai ilmu tersebut sudah mampu untuk menafsiri al-Quran dengan benar. Sementara Pangeran Jayanegara adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, sehingga beliau selalu berpesan kepada anak cucunya, harus menguasai ilmu fiqih, paling tidak salah satu kitab fiqih Taqrib namanya itu harus bisa dan menguasainya, agar wasiat eyang Gusti Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati “Ingsun Titip Tajug lan Faqir Miskin” itu bisa dilaksanakan dengan benar. Disamping itu juga Pangeran Jayanegara adalah seorang ahli dalam bidang penyusunan setrategi, sementara Pangeran Suryanegara ahli dalam membuat natijah atau kesimpulan/keputusan. Klop sudah keahlian kedua putra Panembahan Sepuh itu untuk menyusun apa saja, hasilnya sangat bagus.

Keahlian kedua Pangeran itu rupanya sampai didengar oleh kalangan Istana Keraton Kanoman, Putera Mahkota Keraton Kanoman sendiri begitu mendengar ada seseorang yang sangat piawai dalam hal penyusun setrategi itu masih dari kalangan Keraton yang pergi meninggalkan Istananya, hal ini tidak disia-siakan Putra Mahkota yang sudah sangat tidak cocok dengan semua aturan yang ada, Putra Mahkota dengan membawa tekad yang bulat menemui kedua Pangeran itu, untuk membicarakan semua unek-uneknya.

Kehadiran Putra Mahkota ditempat kediaman Kedua Pangeran secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan Kiyai Abdul Muhyi mertuanya, namun sebagai ulama sufi Kiyai itu lebih baik diam dan menyimak saja pembicaraan mereka. dalam pertemuan itu obrolan mereka sangat menarik, karena ketiganya sama-sama ahli dalam bidang Syari’at Islam dan sama-sama anti Kolonial Belanda yang telah menyusahkan Cirebon.


Kesimpulan obrolan dalam pertemuan tersebut antara lain: pertama, sepakat perlu diadakan perlawanan, dengan alasan untuk mengembalikan kedudukan Cirebon sebagai penguasa politik dan penentu kebijakan tradisi yang bersendikan syariat Islam, kedua, sepakat hal ini akan dikonsolidasikan dengan teman-teman nyantrinya dulu, seperti mbah Muqoyyim, Jamaluddin Bukhori, Raden Atasangin, Sya’roni, Pangeran Arya Sukmadiningrat, Syarif Abdur Rahman warga keturunan Arab yang mengadakan kegiatan da'wahnya di wilayah Cirebon bagian Timur, dan lainnya. Ketiga, semua nama asli akan diganti dengan nama sandi, agar gerak-geriknya tidak di ketahui baik oleh pihak keraton yang pro Belanda, maupun oleh pihak Pemerintah Kolonial.

Hasil kesepakatan itu tidak disia-siakan dan langsung diberitahukan kepada teman-teman dan saudara, secara diam-diam. Setelah mereka berhasil dihubungi kemudian mereka berkumpul lagi ditempat yang sama yaitu ditempat kediaman Kedua Pangeran tersebut. Dan sekaligus malam itu juga (27 Maret 1801) tempat pertemuan itu dikukuhkan sebagai Keraton Perjuangan atau Bayangan, kemudian tersusunlah sebuah rancangan yang sangat bagus. Yakni Putra Mahkota Raja Kanoman ditunjuk sebagai Panglima tertingginya, untuk Koordinator lapangan ditunjuk Pangeran Suryanegara, untuk Penyusun setrategi ditunjuk Pangeran Jayanegara, untuk Pimpinan Daerah ditunjuk mbah Muqoyyim dan dibantu teman-temannya seperti Jamaludin Bukhori, Sya’roni, Pangeran Aryasukma Diningrat, Syarif Abdur Rahman. Sebagai pendahuluan didalam perjuangan itu koordinator daerah ditugaskan sebagai pengganggu setabilitas keamanan daerah.

Pada hari itu juga mereka langsung merubah namanya, Pangeran Penengah Abu Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Suryakusumah Jayanegara, namanya dijadikan satu menjadi Suryajanegara, Jamaludin Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin, diganti menjadi nama panggilan atau singkatan pada saat nyantri dulu yaitu Rangin artinya Raden Atasangin, kemudian dilengkapi dengan Bagus Rangin, dan ada juga yang memanggil Raden Serangin, itu sebenarnya sama sebagai nama julukan atau wadanan (Bahasa Cirebon), dan kemudian untuk Sya’roni sendiri dirubah menjadi Serit atau Bagus Serit, karena Sya’roni itu artinya dua rambut, sehingga dulu dijuluki pada saat nyantrinya dulu dengan nama Serit (Sisir lembut untuk mencari kutu/Tuma). Sementara Aryasukma Diningrat dirubah menjadi Arsitem. Syarif Abdur Rahman diganti menjadi Bagus Sidong.

Landasan strategi mereka dalam perjuangannya disusun dalam sebuah buku yang diberi Judul "Mujarobat" nama buku panduan itu adalah kepanjangan dari "Mujahidin poro Ahlul bait/ahli Keraton" dan agar buku itu tidak diketahui orang lain maka penulisnya ditulis dengan nama "Arsiqum" didalam kitab itu banyak berisi sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan sendiri.  Markas Besar pertamakali untuk menyusun setrategi perang melawan Belanda dan Pihak Keraton itu berada di Desa Tengahtani tempat tinggalnya kedua Pangeran tersebut, sekaligus dikukuhkan menjadi Keraton perjuangan (sampai saat ini nama itu masih melekat dimasyarakat, dan dijadikan sebuah nama blok yaitu blok Keraton adanya dikomplek masjid Tengahtani).

Untuk lebih memudahkan dalam berkomunikasi, dengan kedua Pangeran itu, akhirnya sepakat nama Suryajanegara itu untuk Pangeran Suryanegara dan untuk Pangeran Jayanegaranya sendiri lebih tepat diberi nama Rancang, sesuai dengan keahliannya yaitu merancang, sehingga sampai sekarang nama itu dikenal oleh masyarakatnya yaitu Buyut Rancang.

Kehidupan mereka sehari-harinya adalah sebagai tokoh masyarakat yang disegani, punya santri, punya pengajian, dan dakwah kedaerah-daerah. Seperti Jamaludin Bukhori atau Bagus Jabin, dia punya santri jumlahnya ribuan. Raden Atasangin atau Rangin punya santrinya juga ribuan, Sya’roni atau Serrit juga mempunyai ribuan santri, mbah Muqoyyim sama, begitu juga ke dua Pangeran, masing-masing punya santri yang jumlahnya ribuan, sementara Raja Kanoman punya pengaruh sangat besar. Dan hal ini dapat dibuktikan, melalui yang bersifat kerusuhan kecil- kecilan di daerah-daerah, seperrti di Kerawang atau daerah Pantura, Majalengka, Bandung, Sume dang, Cimanuk dan beberapa daerah Cirebon.

Meski satu persatu pemimpin pemberontakan itu tertangkap, namun tidak menyurutkan perlawanan atau pemberontakan terhadap tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti yang di alami pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam pemberontakan karena menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang dapat memicu pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton. Sampai wafat nya pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari Belanda.

Begitu juga Bagus Rangin tokoh masyarakat dari Bantarjati Majalengka, yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Pada 1805 pertempuran pecah di daerah Pangumbahan, juga terjadi lagi di daerah Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ± 10.000 orang kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Tanggal Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Cimanuk dekat Karangsembung Cirebon. Nama Bagus Rangin saat ini diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Bandung dan Cirebon.

Semoga kisah sejarah peteng Cirebon ini menjadi bahan renungan dan kajian kita semua sebagai bangsa yang besar, yaitu Bangsa Indonesia....Amiin.

TAMAT




Kiriman ti

Kang Oman Cirebon


Rd. Vishnu Kusumawardhana, SH

0 komentar:

Posting Komentar

PUPUHU

Foto saya
Saya adalah Insan tani Karawang, yang tetap menjungjung Budaya Leluhur Sunda.