Kamis, 13 Juli 2017

ARIA KAMANDAKA

Tokoh Banyak Catra Dalam Tradisi dan Sejarah Sunda

Penulisan sejarah adalah penulisan tokoh dan peristiwa yang telah lalu. Dari generasi ke generasi, tokoh dan peristiwa tersebut dikisahkan kembali, baik melalui tradisi tulis atau tutur, agar kelak terpelihara hingga waktu yang panjang.

Oleh: Yusandi

Seiiring berjalannya waktu, penulisan mengenai seorang tokoh sejarah (yang tentunya terkait dengan sebuah atau berbagai macam peristiwa sejarah di zamannya) mengalami berbagai perjalanan pula.

Dengan begitu, muncullah banyak versi atau pakem mengenai sosok tokoh tersebut. Tidak hanya dalam tradisi lisan/tutur, pendistorsian terhadap sosok atau tokoh sejarah sering pula terjadi dalam tradisi tulis.

Walhasil, yang terjadi adalah “penokohan” yang beragam. Bila sudah begitu, “alur” atau “jalan cerita” tokoh itu pun berbeda-beda dan tak jarang “tak masuk akal”. Apalagi bila si tokoh tersebut hidup pada lima ratus tahun yang lewat, maka jangan heran bila kita temukan banyak “wajah” dan “cerita” yang berbeda dari tokoh yang sama.

Memang, ada satu benang merah yang mengikat karakter tokoh yang telah mengalami distorsi itu: bahwa ia “raja bijak”, “pandita saleh”, “putri rupawan”, “ksatria tampan dan sakti”.

Namun, tetap saja kita—yang hidup bukan di zaman tokoh itu—dihadapkan pada data-data yang saling bertolak belakang satu dengan yang lain. Yang akan lebih membingungkan, bila ternyata si pencerita atau perawi kisah tokoh itu memiliki tendensi tertentu, baik tendensi suku, agama, atau politik.

Dengan begitu si tokoh bersangkutan telah diberi embel-embel baru yang tak terdapat pada versi sebelumnya; dan ini tentunya akan membuat penulisan sejarah jauh dari “mendekati kebenaran”.

Hal ini pula yang terjadi pada tokoh Banyak Catra. Bagi sebagian orang, nama ini tentu asing karena memang jarang diungkapkan dalam teks-teks buku ajar di sekolah-sekolah resmi dan memang sifatnya tidak “nasional”, hanya “lokal”.

Bagi sebagian orang Jawa Barat bagian timur dan Jawa tengah bagian barat, terutama Banyumas (juga Porwokerto, Probolingo, Cilacap, Kebumen), mungkin nama ini tak asing, karena berhubungan dengan sejarah kota tersebut, namun bagi orang-orang di luar kota itu nama ini belum melejit.

Banyak Catra Dalam Babab Pasir

Nama Banyak Catra sebenarnya banyak terdapat pada naskah-naskah kuno, sehingga menimbulkan kesan bahwa ia adalah tokoh sejarah, bukan tokoh legenda apalagi mitos. Naskah yang paling gamblang mengisahkan sepak terjang Banyak Catra adalah Babad Pasirluhur (kadang disebut Babad Pasir saja).

Disebutkan dalam babad itu, bahwa ia adalah putra mahkota Kerajaan Pakuan Parahiyangan, anak dari Sri Prabu Linggawastu Ratu Purana Jayadewata, yang mencari calon jodohnya. Ia ingin sosok wanita yang mirip ibunya, Dewi Kumudaningsih.

Ia lalu menjelajah pelosok wilayah Pakuan-Parahiyangan, hingga tiba di timur Sungai Citanduy di Pasir Luhur setelah melihat gadis yang berwajah mirip ibunya, Dewi Ciptarasa.

Mengetahui bahwa gadis itu putri Adipati Pasir Luhur, Kanda Daha. Perjuangan pun dimulai. Ia menyamar sebagai Lutung Kasarung dan Kamandaka. Selain Babad Pasir Luhur, cerita Kamandaka ini tercantum pula dalam babad-babad lain seperti Babad Kamandaka dan Cariyos Kamandaka.

Babad Pasirluhur berlatar zaman Kerajaan Pakuan-Parahiyangan (Pajajaran) ketika masa Prabu Linggawesi Dewa Niskala (1466-74 M), yang dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sri Prabu LInggawastu Ratu Purana Jayadewata (1474-1513 M).

Sri Prabu Linggawastu memiliki empat orang anak: Raden Harya Banyak Catra, Raden Harya Banyak Blabur, Raden Harya Banyak Ngampar, dan Dewi Retna Pamekas.

Pasirluhur, menurut Sugeng Priyadi, memiliki nama-nama lain yang lebih kuno, seperti Medang Sekori, Medang Kamulan, Jawa Pawwatan (Jawa Pamotan), dan Pura Medang. Nama Jawa Pawwatan sendiri terekam dalam naskah Carita Parahyangan (ditulis akhir abad ke-16 M di Galuh, ada juga yang menganggap ditulis pada tahun 1604 M di Sumedang).

Menolak Jadi Raja Pakuan Parahiyangan

Dalam Babad Pasirluhur dikisahkan bahwa Dewi Ciptarasa, satu dari 25 putri Adipati Kanda Daha, merupakan keturunan Arya Bangah, sedangkan Kamandaka keturunan Ciung Wanara.

Dari sini, menurut Sugeng Priyadi, terjadi penjembatanan antara dua tokoh yang dulu sempat berseteru, yakni permusuhan antara Ciung Wanara (Manarah) dengan Rahyang (Hariang) Banga pada masa lalu.

Dengan pernikahan antara Kamandaka-Ciptarasa, maka ikatan kekeluargaan yang retak terjalin mesra kembali. Keturunan merekalah (trah Banyak Catra) yang kemudian menjadi bupati/adipati di wilayah yang kelak bernama Banyumas itu (kabupaten ini kini beribukota di Purwokerto).

Sementara itu, Raden Harya Banyak Blabur, anak kedua Prabu Linggawastu, menjadi raja Pakuan Parahiyangan menjadi raja menggantikan sang ayah. Sebelumnya, Banyak Blabur mencari kakaknya ke Pasirluhur dengan menyamar juga dengan nama Silihwarni.

Ia memohon pada kakaknya untuk pulang ke Pakuan karena akan dinobatkan menjadi penguasa Pakuan Parahiyangan. Selanjutnya, Banyak Catra bersama istri dan mertuanya datang ke Pakuan.

Adipati Kanda Daha memohon kepada Prabu Linggawastu agar putra tetap berada di Pasirluhur dengan alasan bahwa Adipati tak memiliki anak lelaki yang akan menggantikannya kelak. Maka, Banyak Catra pun menjadi Adipati Pasirluhur, sedangkan Banyak Blabur menjadi raja Pakuan Pajajaran.

Ada pun putra ketiga Prabu Linggawastu, Banyak Ngampar, menjadi Adipati Dayeuhluhur, daerah timur Sungai Citanduy, selatan Pegunungan Kendeng yang berbatasan dengan Pasirluhur.

Sementara itu, putri bungsunya, Ratna Pamekas menikah dengan Raden Harya Baribin Pandhita Putra. Raden Baribin sendiri adalah adik Prabu Kertabuhumi Brawijaya V Raja Majapahit.

Ia melarikan diri dari Majapahit karena difitnah hendak melakukan kudeta terhadap kakaknya. Lantas ia menyamar menjadi pendeta di timur Sungai Citanduy. Ketika dipanggil ke keraton Pakuan, ia mengakui identitas dirinya pada Prabu Linggawastu.

Oleh sang Prabu ia dinikahkan dengan putrinya. Dari pernikahan dengan Ratna Pamekas, lahir empat orang anak: Raden Jaka Ketuhu, Raden Banyak Sosro (dititipkan pada Banyak Catra di Pasirluhur), Raden Banyak Kumara, dan Raden Ayu Ngaisah.

Kelak, menurut babad itu, Jaka Ketuhu diangkat menjadi Adipati Anom Wirasaba (Adipati Anom Wirautama) dan diberi wilayah Wirasaba hingga ujung timur sampai lereng barat Gunung Sindoro Sumbing di Kedu (kecamatan di Kab. Temanggung, Jawa Tengah).

Menurut Babad Pasir, wilayah Pasirluhur tak terikat pada dua kerajaan yang mengapit wilayahnya, yaitu Pajajaran di barat dan Majapahit di timur. Menurut babad ini, yang menjadi adipati Pasirluhur hanya sampai keturunan keenam: Banyak Catra, Banyak Wirata, Banyak Rama, Banyak Kesumba, Banyak Belanak, dan Banyak Thole.

Adipati-adipati itu kemudian menikah dengan saudara-saudara mereka sendiri. Banyak Wirata menikah dengan putri Banyak Ngampar, putra banyak Rama dengan putri Adipati Banyak Ngampar II.

Banyak Kesumba kawin dengan Dewi Rara Kasiyan, putri Banyak Blabur yang bergelar Prabu Silihwangi II. Pasangan inilah yang kelak menurunkan dua orang putra, Pangeran Senapati Mangkubumi I (Banyak Belanak) dan Pangeran Senapati Mangkubumi II (Banyak Galeh atau Patih Wirakencana).

Wirakencana ikut serta dalam penyebaran Islam di Pasirluhur, yang dibantu oleh Pangeran Makedum Wali, ulama asal Demak. Pada masa Banyak Belanak, Pasirluhur dibebaspajakkan menyetor upeti ke Demak, menjadi wilayah perdikan (atau sima pada masa Hindu-Buddha).

Banyak Belanak hidupnya berakhir tragis, dikubur hidup-hidup ketika sedang sakit oleh anaknya sendiri Adipati Banyak Thole yang memeluk Hindu kembali.

Banyak Catra Dalam Naskah-naskah Lain

Nama Banyak Catra terdapat pula pada naskah-naskah lain yang lebih muda dari Babad Pasir, yakni Babad Banyumas dan Sejarah Wirasaba. Kedua naskah ini pun banyak salinannya. Teks tertua Sejarah Wirasaba ditulis pada 1787 Tahun Jawa (1858 M) yang berbentuk macapat dengan media kertas.

Dalam Babab Banyumas diceritakan bahwa Raden Banyak Cotro memiliki anak bernama Raden Joko Kahiman (Jaka Kaiman). Tokoh inilah yang menadi fokus utama Babad Banyumas.

Namun dalam versi babad ini, Banyak Cotro merupakan anak pasangan dari Raden Barabin dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas (bandingkan dengan kedudukan Barabin dan Ratna Pamekas dalam Babad Pasir).

Dalam babad-babad lain, Kamandaka mengabdi pada Patih Pasirluhur, Reksanata. Layaknya kisah Panji, Kamandaka diangkat sebagai anak oleh Patih. Nama Kamandaka tersebut merupakan pemberian dari seorang pertapa di Gunung Tangkuban Parahu bernama Ajar Mirangrong (ada teks yang menyebut Wirangrong).

Singkat cerita, akhirnya Kamandaka menikah dengan Ciptaresmi, dan selanjutnya menggantikan mertuanya menjadi Adipati Pasirluhur.

Ternyata nama Banyak Catra dijumpai pula dalam dua pustaka berbahasa dan beraksara Sunda Kuno, yaitu Sanghyang Siksa Kanda ng Karesyan (ditulis 1518 M) dan Bujangga Manik (ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16).

Dalam Sanghyang Siksa digambarkan bahwa tokoh Banyak Catra merupakan tokoh pantun, bersama dengan nama-nama lain seperti Silihwangi, Langgalarang, dan Haturwangi. Sedangkan dalam Bujanga Manik, nama ini disandingkan dengan nama Silihwangi.

“Angsa Penyayom”

Bila kita teliti, semua putra Prabu Linggawastu dalam Babad Pasir dimulai dengan nama Banyak; juga keturunan lelaki Banyak Catra berawalan Banyak pula. Ditinjau dari segi bahasa, banyak berarti angsa (Sansekerta: hamsa).

Angsa merupakan simbol kebebasan untuk hidup kekal, yang dapat berenang di air dan terbang di angkasa. Fakta ini mendorong kita untuk menafsirkan bahwa banyak atau angsa merupakan totem keluarga/trah Banyak Catra.

Maka dari itu, pantang bagi trah Banyak Catra membunuh atau menyakiti binatang tersebut. Totemisme sendiri lahir karena ada anggapan bahwa sebuah komunitas (suku atau bangsa) bersangkutan mempunyai hubungan kekuatan gaib dengan sekelompok orang, atau seseorang, atau dengan segolongan binatang atau tumbuhan atau benda material.

Maka dari itu, totemisme acap dipakai oleh banyak anggota suku atau bangsa tersebut untuk menelusuri identitas mereka dari suatu simbol bersama agar asal-usul leluhur dapat terkuak.

Hewan angsa atau banyak dalam agama Hindu merupakan wahana atau tunggangan Dewa Brahma sebagai dewa pencipta dunia, perwujudan dari Brahman, Jiwa Tertinggi dan Abadi dalam kepercayaan umat Hindu.

Dalam dunia kosmologis kuno disebutkan terdapat lima arah mata angin (atau pancakusika atau pancaaksara): purwa, daksina, pasima, utara, dan madya. Purwa (timur), tempat Hyang Isora, putih warnanya.

Daksina (selatan), tempat Hyang Brahma, merah warnanya; pasima (barat), tempat Hyang Mahadewa, kuning warnanya; utara, tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya; madya (tengah), tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya.

Jadi jelas bahwa kedudukan Dewa Brahma berada di selatan, dan arah selatan mengacu pada hari Pahing, hari terakhir dalam seminggu dalam sistem Pancawara.

Sebagai perbandingan, kita tengok kompleks Candian Prambanan, di mana ada tiga candi induk, yaitu Candi Wisnu, Candi Siwa, dan Candi Brahma. Ketiga bangunan itu dilengkapi dengan tiga candi wahana, dan candi wahana Brahma adalah angsa.

Disebutkan dalam Babad Banyumas bahwa ada suatu pamali atau pemali (pantangan) yang beredar bagi keturunan Adipati Wirasaba, yakni hari Sabtu-Pahing (sementara Sejarah Wirasaba menyebut Pahing saja).

Dalam kalender Jawa/Sunda kuno disebutkan bahwa orang yang lahir pada hari Pahing itu emosinya cenderung labil alias cepat marah. Bila keterangan-keterangan tadi disejajarkan, akan jelas bahwa simbol Brahma-pahing-selatan mengacu pada merah dan marah.

Lebih dari itu, merah bisa dikaitkan dengan darah, sebagai salah satu tanda kehidupan dan keturunan. Maka dari itu, memakan angsa, di samping tidak menghormati binatang totem juga akan dianggap mematikan atau melupakan Sang Maha Pencipta (Brahma).

Dengan begitu, sebagai acuan pemali atau pantangan (larangan), angsa adalah lambang yang berkaitan dengan awal-mula, Sang Pencipta, juga dinasti (wangsa).

Pada alinea-alinea sebelumnya kita dapatkan bahwa telah terjadi pembunuhan atas diri Banyak Belanak oleh Banyak Thole. Dalam kasus ini, bila kita merujuk psikoanalisis Freud, maka totemistis tidak lain merupakan pengenangan peristiwa pembunuhan itu.

Peristiwa pembunuhan ayah mengakibatkan rasa bersalah pada si anak, kemudian menjadi fundamen totemisme. Kesadaran inilah yang menjadi peringatan agar keturunan atau trah Banyak Catra tidak mengalami peristiwa naas yang sama.

Kita sudah memahami arti banyak. Kini tinggal kita lacak arti kata catra. Dalam bahasa Sansekerta, catra berarti “pengayoman” atau “payung”. Kita bisa pula membandingkannya dengan kata catar yang berarti “payung”. Dengan begitu, kita bisa berasumsi bahwa Banyak Catra berarti “Angsa yang Memayungi” atau “Angsa Pengayom”.

Masa Hidup Banyak Catra

Melihat teks Sanghyang Siksa Kanda ng Karesyan, dapat kita tarik simpulan bahwa tokoh Banyak Catra telah tiada; ia telah menjadi tokoh pantun yang beredar di wilayah Jawa Barat ketika naskah itu dibuat.

Dengan demikian ia diperkirakan hidup pada sebelum abad ke-16, setidaknya pada zaman setelah (atau hampir berbarengan dengan) masa Silihwangi, Langgalarang, dan Haturwangi. Nama Langgalarang dapat ditemui pada naskah-naskah yang lahir kemudian, dengan nama yang agak sedikit berbeda, Anggalarang.

Tokoh Anggalarang dicatat pula dalam Carita Waruga Guru (ditulis pada tahun 1750-an) sebagai ayah Prabu Siliwangi. Nama Silihwangi (Siliwangi) kelak banyak mengisi halaman-halaman naskah yang lebih modern sebagai tokoh legendaris.

Seperti halnya Banyak Catra, tokoh Silihwangi selalu digambarkan sebagai raja/penguasa yang bijaksana dan ketika muda berkembara ke wilayah-wilayah lain untuk memperoleh ilmu dan tak jarang juga calon istri di tempat ia berkelana.

Dari teks Bujangga Manik kita lebih mendapatkan info bahwa ia seorang yang tampan, sebagai perbandingan terhadap tokoh utama Bujangga Manik. “Ganteng melebihi Banyak Catra, lebih dibandingkan Silihwangi” (kasep manan Banyak Catra / leuwih manan Silih Wangi), begitulah teks memperbandingkannya dengan tokoh utama Bujangga Manik.

Dari sini pula kiranya dapat kita bayangkan bahwa tokoh Banyak Catra sudah tiada dan telah menjadi “tokoh legenda” ketika naskah Bujangga Manik ditulis. Karena tak diketahu pasti tahun pembuatan naskah ini, hanya ancang-ancang saja, yakni akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, maka Banyak Catra kita anggap hidup pada masa sebelumnya, pertengahan atau akhir abad ke-15 atau sebelumnya.

Kebelumpastian akan perihal tahun masa hidup Banyak Catra, membuat kita harus menengok sumber-sumber yang lebih dekat. Karena disebutkan oleh Babad Pasir bahwa ia putra dari Prabu Linggawastu Ratu Purana Jayadewata, maka kita bisa menelusuri nama raja ini pada prasasti yang ada.

Nama yang identik dengan gelar panjang tersebut adalah Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, yang termaktub dalam Prasasti Batutulis yang dibuat pada tahun 1533 oleh Surawisesa, putra Sri Baduga.

Sri Baduga (mungkin bahasa Sunda untuk “Sri Paduka”) sendiri memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482-1521 M. Gelar yang hampir sama tertera pada prasasti lain, Prasasti Kebantenan, yaitu Susuhunan di Pakuan Pajajaran atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan atau Sri Sang Ratudewata,

Prasasti Kebantenan dibuat atas perintah Sri Baduga sendiri. Oleh sebagian sejarawan, tokoh Sri Baduga diidentikkan dengan Prabu Siliwangi, seorang tokoh favorit dan dipahlawankan oleh masyarakat Jawa Barat sejak dulu—sekurang-kurangnya sejak abad ke-15.

Dengan mengacu pada dua prasasti tersebut, dapat ditetapkan bahwa sosok Linggawastu Ratu Purana Jayadewata tak lain adalah sosok Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata atau Susuhunan di Pakuan Pajajaran yang hidup pada hingga 1521 M.

Dari sini kita bisa ambil ancang-ancang mengenai masa hidup Banyak Catra, putra Linggawastu, yakni sekitar awal abad ke-16 (hingga mungkin pertengahan abad itu).

Menarik pula bahwa dalam naskah-naskah kuno zaman setelah Islam berkembang (cerita-cerita lisan/rakyat yang kemudian dituliskan, seperti babad, carita, serat), begitu banyak putra Prabu Siliwangi disebutkan.

Dalam Babad Pakuan, misalnya, tokoh Prabu Siliwangi memiliki dua putra dari istri berbeda: Pangeran Guru Gantangan dari Kentring Manikmayang Sunda dan Mundinglaya Dikusumah dari permaisuri Nyimas Padmawati.

Menurut Danasasmita dkk (dalam Babad Pakuan atau Babad Pajajaran, 1977: 9-10), Guru Gantangan dalam babad itu identik dengan Surawisesa dalam sejarah, putra Sri Baduga Maharaja.

Ada pula dalam pantun lain yang juga digambarkan sebagai putra Prabu Siliwangi, yaitu Munding Kawati, meski dalam Carita Waruga Guru justru tokoh Munding Kawati-lah yang merupakan kakek Siliwangi (di sini jelas posisi Siliwangi yang simpang-siur dalam urutannya sebagai raja Pakuan Pajajaran).

Nama Kentring Manikmayang, sebagai permaisuri Siliwangi, tertulis pula pada teks Carita Ratu Pakuan karya Kai Raga (ditulis awal abad ke-18 M di Gunung Srimanganti—Gunung Ciremay, Jawa Barat, kini).

Pada naskah tersebut ditulis pula nama istri lain Siliwangi, yaitu Nyi Ambet (Ngambet) Kasih (nama ini tercantum pula dalam naskah Cariosan Prabu Siliwangi). Di samping Kentring Manik, Nyimas Padmawati, Ambet Kasih, ada nama istri lain dari Prabu Siliwangi, yaitu Subanglarang.

Nama Subanglarang tercatat dalam Carita Ratu Pakuan dan Carita Purwaka Caruban Nagari dari Cirebon, yang darinya Prabu Siliwangi memiliki tiga anak (Cakrabuana, Rara Santang, dan Raden Sengara). Dari teks-teks babad, seperti Babad Pakuan (disebut juga Babad Pajajaran atau Wawacan Guru Gantangan) dikisahkan bahwa jumlah istri Prabu Siliwangi adalah 151 orang.

Bila membaca teks babad dan carita tersebut, dapat dilihat bahwa karya-karya itu ditulis berdasarkan pantun-pantun yang beredar di kalangan prepantun (tukang pantun). Dan seorang juru pantun mendapatkan cerita dari gurunya (biasanya ayah atau kakeknya), dan ia bisa menghafal Pantun ini dikisahkan oleh mereka secara lisan untuk diserap sebagai hiburan sekaligus acuan moral rakyat awam.

Dengan begitu kita tak bisa sembarangan menganggapnya sebagai kisah “sejarah” yang menuntut pembuktian ilmiah. Namun, dari babad dan carita itu kita bisa mendapatkan gambaran mengenai kehidupan sosial-budaya-ekonomi pada zaman babad atau carita atau wawacan itu dibuat dan dilisankan.

Pun, melalui cerita lisan yang dituliskan kemudian oleh para pujangga yang berdiam di pertapaan (kabuyutan) atau istana sekalian, kita bisa menafsirkan tokoh di dalamnya sebagai tokoh sejarah, termasuk perlakuan kita terhadap Banyak Catra.

Ketidakjelasan sosok Banyak Catra sebagai tokoh historis sama dengan kesimpangsiurannya dengan sosok Siliwangi. Menurut sejumlah pendapat, terdapat empat orang raja Pajajaran yang dinisbahkan sebagai sosok Prabu Siliwangi (Siliwangi I, Siliwangi II, III, dst).

Hal ini membuat para ahli sejarah kebingungan untuk menperbandingkan sosok Siliwangi yang terdapat dalam teks yang berbeda. Ada yang menganggap bahwa Siliwangi I adalah Niskala Wastukancana (kakek Sri Baguda, yang oleh Carita Parahyangan disebut sebagai Prebu Wangi).

Sementara itu Siliwangi II dinisbahkan pada sosok Sri Baduga (ini pendapat paling umum dan paling dipercaya oleh masyarakat Sunda hingga kini), Siliwang III (Surawisesa),

Siliwangi IV pada tokoh sesudahnya (misalnya Geusan Ulun atau Gosan Hulun misalnya, penguasa Sumedanglarang pada abad ke-17 M), dan seterusnya. Bukankah adik Banyak Catra, yakni Banyak Blabur pun bergelar Silihwangi II setelah menggantikan ayahnya jadi raja Pakuan Parahiyangan?

Dalam cerita pantun dan babad, nama kecil Siliwangi pun bermacam-macam dengan varian-varian cerita yang tak sama. Selain Siliwangi sebagai tokoh pantun, ada pula nama-nama lain yang berhubungan dengan Kerajaan Pajajaran atau Galuh, yaitu Ciung Wanara dan Lutung Kasarung.

Atau bila kita membaca tokoh Prabu Linggawastu, ayah Banyak Catra, dalam Babad Pasir sebagai tokoh yang sama pada Carita Waruga Guru (di mana Linggawastu merupakan ayah Sang Susuktunggal), maka sosok Banyak Catra tak lain dari Susuktunggal itu sendiri.

Ada pun Susuktunggal menurut sejarawan adalah mertua sekaligus paman dari Sri Baduga Ratudewata; ialah ayah dari Kentring Manik yang menikah dengan Sri Baduga. Menurut Carita Waruga Guru, Susuktunggal memunyai seorang anak bernama Munding Kawati, yang kelak menjadi raja di Pajajaran.

Jadi, bila merujuk pada naskah ini, jelas Prabu Siliwangi tak mengacu pada Sri Baduga, karena nama Siliwangi pada naskah itu disebut sebagai cucu Munding Kawati dan anak Anggalarang. Entah mana yang paling benar.

Terlepas dari ketumpangtindihan tokoh legenda dengan tokoh sejarah dalam babad dan cerita oantun, kita masih punya pegangan, setidaknya, mengenai masa lalu.

Dengan mengacu pada data-data dari babad dan carita tadi, kita dapat beranggapan bahwa ibu dari Banyak Catra, yakni Kumudaningsih, merupakan salah satu istri atau selir dari Prabu Siliwangi, dan Banyak Catra salah satu putra dari raja itu.

Bila demikian kita boleh menganggap bahwa Banyak Catra hidup semasa Surawisesa (1522-35 M), kurang-lebih. Dan bila keturunan Mundinglaya maupun Guru Gantangan tak diketahui, maka nama-nama keturunan Banyak Catra cukup tersedia dalam babad dan cerita lisan, setidaknya di sekitar Banyumas dan Jawa Tengah sebelah barat.

13 komentar:

cindewulung mengatakan...

Kl di liat dr sejarah tadi ada di wilayah kami gunung kumbang dan sy sebagai keturunannya

Bocah dolan mengatakan...

Saya jadi bingung fersinya banyak yang mana yang bener...

cindewulung mengatakan...

πšƒπšžπšπšŠπšœ πš”πš’πšπšŠ πšŠπšπšŠπš•πšŠπš‘ πš–πšŽπš—πšπšžπš–πš™πšžπš•πš”πšŠπš— πšœπšŽπš–πšžπšŠ πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš’πšŠπš—πš πš‹πšŽπš›πš‘πšžπš‹πšžπš—πšπšŠπš— πšπšŽπš—πšπšŠπš— πš‹πšŽπš•πš’πšŠπšž πš–πšŠπš—πšŠ 𝚒𝚐 πš™πšŠπš•πš’πš—πš πš–πšŽπš—πšπšŽπš”πšŠπšπš’ πš”πšŽπš‹πšŽπš—πšŠπš›πšŠπš— πš”πšŠπš•πšŠπšž πš–πšŽπš—πšžπš›πšžπš πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš”πšŠπš–πš’ πšπšžπš—πšžπš—πš πš”πšžπš–πš‹πšŠπš—πš πš‹πš’πš•πšŠ πšπš’ πš™πšŠπšπšžπš”πšŠπš— πšπšŽπš—πšπšŠπš— πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš”πšŠπš–πšŠπš—πšπšŠπš”πšŠ πšπšŠπš›πš’ πš‹πšŽπš›πš‹πšŠπšπšŠπš’ πš™πšŽπš›πšœπš’πš—πš’πšŠ πš“πšŠπš πšŠ πšπšŽπš—πšπšŠπš‘ πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πšπšŽπš—πšπšŠπš— πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ π™²πš’πš›πšŽπš‹πš˜πš— πšπšŽπš—πšπšŠπš— πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πšŠπš›πš’πšŠ πš‹πšŠπš›πš’πš‹πš’πš— πšπšŽπš—πšπšŠπš— πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš™πšŽπš›πš“πšŠπš•πšŠπš—πšŠπš— πšœπš’πš•πš’πš πšŠπš—πšπš’ πš–πšŽπš—πšžπš—πš“πšžπš”πš”πšŠπš— πš‹πšŠπš‘πš πšŠ πš›πšŠπšπšŽπš— πš”πšŠπš–πšŠπš—πšπšŠπš”πšŠ πšŠπš—πšŠπš” πš’πšŠπš—πš πš™πšŽπš›πšπšŠπš–πšŠ πšπšŠπš›πš’ πš’πšœπšπš›πš’ πš’πšŠπš—πš πš™πšŽπš›πšπšŠπš–πšŠ πšπšŠπš— πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš”πšŠπš–πš’ πš™πšžπš— πš–πšŽπš—πšπšŠπšπšŠπš”πšŠπš— πš‹πšŠπš‘πš πšŠ πš‹πšŠπš‘πš πšŠ πšŒπš’πš›πšŽπš‹πš˜πš— πšπš’πš›πšŠπš—πš πšπšžπš—πšžπš—πš πš”πšžπš–πš‹πšŠπš—πš πš•πšŽπš‹πš’πš‘ 𝚝𝚞𝚊 πšπšŠπš›πš’ πšŒπš’πš›πšŽπš‹πš˜πš— πš“πšŠπš πšŠ π™±πšŠπš›πšŠπš � πšπšŠπš— πš–πšŠπš”πšŠπš– πšŠπšœπš•πš’ πš›πšŠπšπšŽπš— πš”πšŠπš–πšŠπš—πšπšŠπš”πšŠ πš–πšŽπš–πšŠπš—πš 𝚊𝚍𝚊 πšπš’ πšπš’πš›πšŠπš—πš πšπš’ πšŒπš’πš›πšŽπš‹πš˜πš— πšπš’πš›πšŠπš—πš πšπšžπš—πšžπš—πš πš”πšžπš–πš‹πšŠπš—πš.

cindewulung mengatakan...

π™°πš—πšŠπš” πš’πšŠπš—πš πš™πšŽπš›πšπšŠπš–πšŠ πšπšŠπš›πš’ πš’πšœπšπš›πš’ πš’πšŠπš—πš πš™πšŽπš›πšπšŠπš–πšŠ πš’πšœπšπš›πš’ π™Ώπš›πšŠπš‹πšž πš‚πš’πš•πš’πš πšŠπš—πšπš’ πš’πšŠπš’πšπšž πš—πš’πš’ πšŠπš–πš‹πšŽπš πš”πšŠπšœπš’πš‘ πšπšŠπš— πš–πšžπš—πšπš”πš’πš— πš–πšŠπšœπš’πš‘ πš‹πšŠπš—πš’πšŠπš” πš–πšŽπš—πšπšπšžπš—πšŠπš”πšŠπš— πš—πšŠπš–πšŠ πš•πšŠπš’πš— πšπšŽπš—πšπšŠπš— πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš’πšŠπš—πš πš•πšŠπš’πš—.

cindewulung mengatakan...

π™ΌπšŠπš›πš’ πš”πš’πšπšŠ πšπšŠπš•πš’ πšπšŽπš›πšžπšœ πšœπšŽπš“πšŠπš›πšŠπš‘ πš‚πšžπš—πšπšŠ.

cindewulung mengatakan...

Kalau raden pamanah rasa/prabu siliwangi bin dewa niskala memerintah di tahun 1482-1521 saya kira kurung masuk. Karena raden walang sungsang saja membangun cirebon dari tahun 1445-1479 tahta di serahkan kepada sunan gunung jati di tahun 1479 m. Sedang banyak sejarah yang mengatakan di antara tahun walang sungsang memimpin cirebon prabu siliwangi menjadi Raja pajajaran. Dan kalau kita lihat pada sejarah seh quro karawang dan waktu itu ingin menikahi nyai subang larang tahun 1418m dan kelahiran raden pamanah rasa tahun 1400 m. Mungkin kah prabu siliwangi memerintah pajaran di umur 80 tahunan.
Sedangkan di tahun 1500 an m. Anak-anaknya pun sudah meninggal misal raden kian santang wafat 1518 m. Walang sungsang wafat tahun 1529 m. Sebenarnya yang pantas memerintah di tahun 1482-1521 adalah paling tidak sura wisesa dia anak pertama dari istri yang ke tiga.
Jadi kita bisa tahu perbandingan umur anak-anak prabu siliwangi.
Misal banyak cotro anak yang pertama prabu siliwangi dari istri yang pertama dari nyai ambet kasih.
Kala beliau masih kecil ibu nya sudah meninggal.
Terus menikah lagi dengan nyai subang larang mempunyai anak raden walang sungsang yang lahir di tahun 1423 m.

cindewulung mengatakan...

Dan beberapa sejarah mengatakan bahwa di umur 17 tahun tersebut karena walang sungsang tidak Mau menjadi raja beliau malah memilih pergi untuk mencari agama islam begitupun dengan sejarah banyak cotro yang katanya suruh menggantikan ayahanda nya menjadi raja pajajaran dan akhirnya mengganti namanya menjadi raden kamandaka dan umurnya lebih tua di bandingkan walang sungsang.

cindewulung mengatakan...

Maka kita bisa tahu bahwa prabu siliwangi dikala umur walang sungsang umur 17 th saja prabu siliwangi sudah menjadi raja.

Unknown mengatakan...

Sampurasun kang ..memang banyak penulis yg masih simpang siur perihal sejarah misal Prabu Silih Wangi itu banyak bukan satu bukan hanya raden Jayadewata/Pamanah Rasa saja...tolong jika sedang membaca/menganalisa ada nama Prabu Silih Wangi ..siapa nama sebenarnya ..dan tahun berapa..? maka kita bisa tau siapa yg menjabat ....seperti Banyak Catra Ia putra Siapa , tetapi karena setelah tahu tahunnya baru kita bisa mengetahui bahwa Banyak Catra dalah putra Prabu Dewa Niskala(Lihat vidio Prof.Dr.Sugeng Priadi) jadi yg perlu diperhatikan periode atau tahun jabatan dipimpin oleh siapa nama aslinya atau nama sebenarnya yg menjabat Prabu Silih Wangi. Dan perlu diingat Prabu Silih Wangi (Gelar Raja ) dan banyak. Hatur Nuhun...Sampurasun Mugia Rahayu.

cindewulung mengatakan...

Makam asli banyak cotro alias raden Kamandaka dan istrinya ada di wilayah kami cirebon girang tua gunung kumbang Brebes khusus wilayah kami beliau terkenal dengan nama aki gesong, ki Buyut dita wangsa namun makam aslinya ada pada makam aki gesong mungkin dari keturunan yang dari wilayah lain ingin berjiarah kami sebagai keturunan nya di sebut turunan guriang karena dalam sejarah gunung kumbang raden Kamandaka terkenal dengan nama guriang panutus terkenal juga dengan nama ki Buyut prendita ki sanca manggala dalam sejarah ratu tujuh gunung kumbang menurut sejarah cirebon terkenal dengan sejarah sembilan ki Buyut cirebon sejarah Kuningan menyebutnya sejarah tujuh ki Buyut kuningan atau juga sejarah tujuh ki Buyut desa ci mulya yan letak sejarah nya di gunung tangkuban prahu. Jadi kita bisa tahu bahwa raden Kamandaka tersebut adalah anak prabu Siliwangi yang paling tua lebih tua dari aki kuwu sangkan urif cirebon girang Jawa Barat dan dalam sejarah kami bahwa raden Kamandaka berguru kepada seh Nurjati alias seh lemah abang itulah cerita singkat nya.

Encum Nurhidayat, SP mengatakan...

Terimakasih atas kunjungannya

Ki Rasa mengatakan...

Jangan bingung anggaplah ini suatu puzzle yg hrs kita rangkai hingga jadi suatu Narasi...

Ki Rasa mengatakan...

Saya sepertinya sependapat dgn Panjenengan

Posting Komentar

PUPUHU

Foto saya
Saya adalah Insan tani Karawang, yang tetap menjungjung Budaya Leluhur Sunda.